-10 tahun kemudian-
Ia kembali. Kembali menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya. Rambutnya tak lagi panjang, hanya tersisa sebahu, tingginya tentu saja bertambah, dengan balutan kemeja garis garis putih serta kulot hitam di tambah heels hitam 5cm yang memperlengkap penampilan seorang jaksa yang baru saja turun dari pesawat.
Ia menarik kopernya menuju pangkalan taxi dan memasuki salah satunya. Taxi itu meluncur menuju rumah yang sudah lama ia tinggal. Rumah berwarna abu-abu yang masih sama seperti dahulu. Yang berubah mungkin hanya taman depan.
Ia mengetuk pintu hitam tersebut hingga akhirnya seorang laki-laki yang tingginya lebih dari dirinya membuka pintu. Tampilannya sungguh mengenaskan. Kaos longgar yang tampak lungset serta celana pendek, rambut berantakan, dengan mata yang masih terpejam.
"Selamat pagi, saya dari kejaksaan, bisa bertemu dengan bapak Aaron,"
"Iya, saya sendiri," jawabnya sambil mengucek mata dan berkedip beberapa kali.
"WOI! KAPAN LU BALIK ANJING? KOK KAGA BILANG BILANG? MAMAAA! PAPAAA! AE PULANG!"
"Hush! Kaga usah teriak teriak juga bege. Malu gue didenger tetangga,"
"BODOAMAT, GUE KANGEN AMA LU MONYET!" Aaron langsung memeluk kakak satu satunya itu.
"HEH MINGGIR LU BAU! DUHH AWAS ILER LU NEMPEL DI BAJU GUE!"
"AE! AE PULANG? MAMA KANGENNN" Romi ikut ikutan memeluk Ae. Oh, jangan lupa, papanya kini juga ikut ikutan dibelakang Romi. Jadilah mereka berempat berpelukan di depan pintu disaksikan Bi Randa, Pak Anto, dan Mang Didik.
___________
"Harusnya lo tuh gausa balik. Enak guenya kalo lo ga ada. Berasa anak tunggal," ujar Aaron, lalu tertawa.
"Sialan lo!" Ae langsung melempar kulit kacang di tangannya.
"Btw, lo uda ngabarin temen temen lo kalo lo balik?" Ae berhenti mengunyah kacangnya.
Trixie dan Abigail sama sekali gatau kalo Ae pulang hari ini. Biarkanlah, ia bisa mengabarinya besok. Tapi satu yang mengganjal sekarang. Dimana Danar?
___________
Entah kenapa sekarang kakinya menginjak tempat ini lagi. Sekarang sudah lumayan banyak yang berubah. Mainannya bertambah, bahkan ayunannya pun diganti. Posisi tempat duduknya saja yang sama. Dan kursi itu masih ada. Ae tersenyum kemudian duduk di sana.
Lama Ae berdiam diri di sana. Sekedar menggoda beberapa anak kecil yang sedang bermain dan memperhatikan mereka dari jauh.
Saat tak sengaja menunduk untuk membersihkan heelsnya, ada bola menggelinding dan mengenai kakinya. Ia mengambil bola tersebut dan berniat mengembalikannya.
Begitu ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan mata itu lagi. Mata coklat gelap yang dahulu suka sekali ia pandangi. Bersama dengan anak kecil di gendongannya. Otomatis bola yang sudah ada dalam pegangannya merusut jatuh dan menggelinding ke arah orang itu seolah-olah tahu siapa tuannya.
"Hai," lagi-lagi dia yang menyapa Ae terlebih dahulu.
"Hai," jawab Ae dengan kikuk. Ia merasa canggung. Tentu saja. 10 tahun tak bertemu dan sekarang bertemu tanpa sengaja.
"Kapan balik?"
"Baru tadi pagi," dia hanya ber-oh ria dan mengangguk paham
"Itu-" belum selesai Ae berbicara, seorang perempuan datang dan mengambil alih gendongan anak itu dari Danar.
Iya, dia Danar, dan Charissa, serta entah, mungkin anak mereka. Hati Ae terasa sesak. Ada sesuatu yang mendesak ingin keluar di pelupuk matanya.
Oh, tolong, ini baru hari pertamanya kembali. Haruskah ia menangis?
"Eh," Charissa terlihat sangat terkejut. Lalu ia memandangi Danar yang masih memandangi Ae.
"Kak, kita permisi, duluan," lalu dia menarik Danar menjauh dan hilang.
Kaki Ae melemas. Ia berjongkok dan mengambil banyak oksigen untuknya sendiri. Matanya memanas lagi. Ia menangis, tentu saja. Tapi apa yang ia tangisi?
Bertemu Danar? Karena Danar dan Charissa? Atau, karena anak itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Adik Kelasku, Ketua Osisku, Pacarku
Teen Fiction[SLOW UPDATE] "Ombak jahat ya. Dia terus-terusan nerjang karang, bikin karangnya jadi bolong seakan-akan karang itu rapuh" ujar Danar dari belakang Ae yang entah sejak kapan berada disana "Ombak emang bikin karang jadi bolong. Tapi lihat, bolongan i...