Suasana di lapangan saat ini terbilang sepi mengingat jam yang masih menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit.
Perlahan air hujan pun turun membasahi lapangan yang cukup besar itu, sepertinya benar dugaan gadis yang sedang memandangi langit di depan balkon kelasnya berada.
Lantaran ia datang sangat pagi dari biasanya, selain menghindari pusat perhatian orang sekitar. Hari ini ia menghindari hujan, praduganya mengatakan hujan yang baru berhenti pada jam dua pagi dini hari akan berlanjut membasahi bumi pada pagi ini.
Dan, benar. Dugaannya sama sekali tidak meleset, anggaplah ia cenayang saat ini. Mata gadis itu masih menatap langit yang memunculkan gelapnya dunia, ia tidak terlalu menyukai hujan. Sebab, hujan mengingatkan ia pada apa-apa yang membuatnya hancur.
Bukan, ia sama sekali tidak menyangkal nikmat Tuhan yang ada. Ia hanya selalu menjadi pemikir keras ketika hujan tiba membasahi bumi juga membasahi hatinya yang rapuh.
Mengapa harus ada kehilangan ketika hujan?
Mengapa?
"Bengong aja, Tas! Masih pagi kali."
"Eh, kamu... dari tadi disini?" tanyanya pada perempuan berjilbab disampingnya.
"Lumayan sih, pas gerimis tadi gue langsung buru-buru naik ke kelas," jawab Riri cepat tanpa menoleh pada Tasya, "lo emang kalo dateng pagi banget gini, ya?"
"Biasanya sih jam enam pas kok. Cuman hari ini kecepetan lima belas menit deh," jawabnya terkekeh pelan.
"Tas, gue boleh nanya sesuatu?"
"Tanya aja, Ri. Kata kamu kita jangan kaku kan?" Ia tersenyum tipis menatap manik mata Riri yang coklat terang. Indah.
Spontan, Riri menarik Tasya ke dalam kelas dan menuntunnya duduk di tempat Riri. "Di bangku aku aja, Ri." Tasya merasakan tubuhnya ditahan oleh Riri yang masih menggenggam pergelangan tangannya.
Riri menggeleng dan mendengus pelan, "Ogah, Tas. Duduk disitu tuh sama aja nyerahin diri ke kandang ayam." Tasya tergelak mendengarnya.
"Kelihatannya hubungan kalian rumit, ya," ujar Tasya seraya duduk di kursi Riri.
"Nanti gue bakal ceritain detilnya, sekarang... Lo yang mesti cerita. Oke oke oke?" pinta Riri sembari duduk dikursi sebrang nya.
"Emang apa yang harus diceritain?"
"Reyhan. Gue janji bakal jaga rahasia, beneran deh," ucapnya menampilkan dua jari di depan wajah, "gue nggak bocor kok, gue cuma penasaran."
Mata Tasya menerawang ke arah papan tulis. Lalu, ia tersenyum kecil. Perlahan dia bercerita tentang awal pertemuannya dengan Reyhan. Reyhan yang menolongnya, membantunya bahkan rela dihukum deminya. Sungguh menawan sekali Reyhan dimatanya. Tapi, tentu saja Tasya tidak bercerita tentang perasaannya terhadap Reyhan pada Riri.
Riri terdiam dibuatnya, ia paham betul seperti apa sifat Reyhan selama ini. Cuek, nggak peduli dan selalu terserah. Kalau disimpulkan pasti ujung-ujungnya jadi bomat alias bodo amat. Tapi, seakan berbanding terbalik dengan yang diceritakan Tasya.
"Asli, Tas. Gue percaya nggak percaya sama yang lo ceritain sih."
Riri benar-benar tidak kenal dengan Reyhan yang Tasya ceritakan. Baik, penolong, perhatian dan kawan-kawan. Yang benar saja, bahkan Reyhan tidak pernah mau terlibat untuk membantu orang lain.
Riri punya buktinya, nyata dan masih tersimpan jelas di kepalanya. Saat Riri dan Arga bertengkar, Riri pernah sesekali meminta tumpangan dengan Reyhan. Walhasil, Reyhan menyuruhnya buat naik gojek?!
"Gue rasa Reyhan suka deh sama lo."
"Em nggak mungkin sih, kita aja baru kenal," jawab Tasya ragu masih enggan berpaling dari papan tulis.
"Mungkin aja lah! Lo aja mulai suka kan sama Reyhan, cie ... ngaku aja keles, Tas. Gue kan juga perempuan, jadi paham lah gimana rasanya," goda Riri menyolek dagu Tasya yang kini mesam-mesem.
Frontal sekali Riri dengannya, bahkan Tasya entah mengapa bercerita dengan santainya pada Riri. Padahal dirinya cenderung tertutup kecuali dengan Papa, bibi dan teman dekatnya, Raffi.
Mungkin Riri pengecualian, karena ia juga perempuan. Tasya merasa dekat sekali dengannya, kenyataannya memang Riri yang mudah bergaul jadi Tasya tidak merasa kaku dan sok akrab.
Bel masuk kelas berbunyi nyaring, membuat semua murid yang ada di balkon maupun kantin mulai memasuki kelas dengan teratur.
Tasya dan Riri menyudahi percakapannya, mereka berdua jadi sangat akrab dan lucunya Riri meminta Tasya untuk tidak kaku dengan mengganti embel-embel aku-kamu menjadi lo-gue layaknya anak SMA Jakarta. Tasya mengiyakan, perlahan ia harus terbiasa. Mengingat semua temannya tidak ada yang kaku seperti bahasa Tasya, maklum deh anak Jendral yang nggak pernah bergaul.
Tasya berjalan dengan hati yang kacau, bagaimana tidak?! Dari sudut tempatnya duduk ada yang memandanginya dengan lekat, siapa lagi kalau bukan Reyhan.
"Lo abis ngapain sama Riri?" tanya Arga antusias pada Tasya yang hendak duduk dikursinya.
"Kepo lu!" jawab Aldi sambil menoyor pelan pelipis Arga.
Tasya tidak menjawab, jantungnya terasa lari dari tempatnya. Ia tahu bahwa Reyhan masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan gelisah ia menoleh ke kanan. "Apa?" tanyanya lembut pada Reyhan.
"Lah itu Arga nanya nggak di jawab? Lo nggak denger?"
Reyhan yang sinis, jutek dan galak. Mungkin benar kata Riri, Tasya belum kebagian semua sifat tai nya Reyhan.
"Oh iya, Ar. Tadi aku.. Em.. Gue abis ngobrol aja kok sama Riri."
"Hah? Tadi lo ngomong apa??!" ucap Aldi heboh yang langsung dijitak Arga.
"Apaansi heboh lu, jangan mulai ayan!"
"Eh lo pada masa nggak ngeh si? Tadi si Tas-Tas ngomong gue!" ucap Aldi masih heboh, kedua tangannya kini menggebrak meja dengan rusuh. "Gue! G-U-E dia ngomong GUE bukan AKU lagi kek anak paud."
Asli Tasya malu banget! Rasanya dia pengen pulang terus masuk kamar dan nggak mau sekolah lagi karena malu. Wkwk. Dan yang terjadi malah Tasya menyembunyikan wajahnya dibalik kedua tangannya yang ia lipat diatas meja.
Arga baru mengerti apa yang dikatakan Aldi, ia cengengesan menatap Tasya. Dan Reyhan tertawa menggelegar, membuat semua murid menatapnya dengan pandangan berbagai jenis. Ada yang kagum mendengar kali pertama cogan dikelas ketawa, ada juga yang merasa terganggu telinganya. Heran.
Reyhan perlahan menghentikan tawanya ketika melihat bu Rani memasuki kelasnya dengan wajah yang selalu terlihat seram. Disenggolnya bahu Tasya pelan, "Udahan kali malunya Haha, ada bu Rani tuh."
Segera Tasya menerbitkan wajahnya kembali dengan wajah yang masih ditekuk ia pun menatap Reyhan. Ia menggigit bibir seraya bertanya, "Emang aneh ya, Rey kalo Tasya ngomongnya gitu?"
"Nggak aneh kok, mungkin karena baru. Tapi, coba aja dipertahankan," jawab Reyhan sembari menahan tawanya.
"Gara-gara bergaul sama Riri nih pasti jadi lo-gue nya nular. Hahah," tambah Aldi masih diiringi tawanya yang renyah.
"Bagus, bagus ada kemajuan," timpal Arga masih cengengesan.
Tasya semakin malu dibuatnya, ketiga sahabat itu terus-terusan meledeknya. Tapi, ada perasaan senang dalam dirinya melihat dan mendengar Reyhan tertawa karenanya.
Bahkan disaat bu Rani mengajar Reyhan masih geleng-geleng cengengesan sambil menatap Tasya, bikin yang ditatap seperti udang rebus. "Reyhan, udah ih.. rese!" seru Tasya sembari mendorong pelan bahunya.
.
.
.
⚓LOVE, NUR INTAN.
SEMOGA SUKA PART INI.. JANGAN LUPA KLIK BINTANG NYA UNTUK VOTE! DAN RAMEIN KOLOM KOMEN YUK😀 SOALNYA NGGAK SEMANGAT UPDATE KARENA YANG BACA BANYAK EH YANG VOTE NGGAK SEBERAPA.
KAMU SEDANG MEMBACA
CANDU
Teen FictionTerjebak dalam lubang narkoba tentu bukan cita-cita Reyhan a.k.a pemilik Apartemen City se-Jakarta Selatan. Enam bulan sudah berlalu, waktu yang ia sebut untuk mencari jati diri. Namun, apakah pencarian jati diri lebih penting dibanding membahagiak...