"Aan, bangun! Ini anak ya, dibangunin daritadi nggak mau bangun. Aan! Mama siram, nih!" Reyhan menggeliat pelan ketika Marina akhirnya menyipratkan air ke wajahnya yang tampan itu.
"Ma, Aan nggak sekolah, Ma. Jangan bangunin! Kepala Aan sakit." Marina tidak menggubris itu, ditariknya tangan Reyhan dari tempatnya membuat Reyhan terduduk dan langsung memelas menatap Mamanya yang kehilatan.. Marah?
"Kamu tuh! Kalo udah nggak mau sekolah lagi, nanti Mama urus biar berhenti aja sekolah. Percuma aja di sekolahin tapi setiap pagi nggak bangun-bangun kalo nggak disiram." Marina mengatur nafasnya perlahan, ia memiliki riwayat penyakit jantung, sedikit saja ia didekatkan dengan situasi yang tidak diinginkan. Sedikit pula nyawanya terjamin selamat.
"Ma, jangan marah dulu. Aan sakit kepala, serius... Ma," ucapnya memelas seraya duduk bersandar di kepala ranjang. Mana tega Mamanya itu melihat putra kesayangannya memasang wajah minta dikasihani.
"Yang bener? Reyhan udah kelas tiga ya, banyak ujian. Jangan aneh-aneh!" Seusai mengucapkan itu, Marina melenggang pergi tanpa kursi roda yang baru satu minggu ia gunakan.
"Ma! Mama!" Reyhan langsung membelalakan matanya melihat pertunjukkan itu. Mamanya tanpa kursi roda membuat ia cemas dan kalangkabut.
Reyhan bangkit dari ranjangnya, segera menghampiri Marina dengan wajah cemas yang berlebihan alias panik.
"Tadi katanya sakit kepala? Ini Mama mau ambil obat. Aan istirahat di kamar, ya," tuturnya lembut meraih dan membelai puncak kepala anaknya yang lebih tinggi darinya itu.
"Mama yang istirahat, nggak usah ambil obat. Sakitnya nggak parah, kok. Di mana kursi rodanya, Ma?" Reyhan meraih pundak Marina lembut dan menuntunnya perlahan menuruni anak tangga.
Marina terdiam, bingung ingin merespon apa pertanyaan Reyhan yang terdengar sangat lembut itu.
"Ma? Aan tanya, kursi rodanya di mana? Biar Aan ambil." Didudukannya Marina di sofa sudut rumah. Masih menunggu jawaban dari Mamanya tercinta ini.
"Enghh... Mama nggak mau pake," jawabnya kikuk merasa tidak enak dengan anak bungsunya ini.
"Harus pake, Ma! Bu! Bu!" teriaknya memanggil ART dengan keras. Sejurus kemudian terlihat wanita paruhbaya menghampirinya dengan agak berlari, kaget tuan rumahnya memanggil sekeras itu.
"Di mana kursi roda Mama?" todongnya tanpa basa-basi pada Bu Yati alias Asisten Rumah Tangganya.
"Um, anu... Aan, Ibu nggak tahu soal itu," jawabnya terbata dan gugup menyelimutinya.
"Gimana bisa nggak tahu? Ibu, Aan tanya sekali lagi, di mana kursi roda Mama?" Reyhan menatap Bu Yati tajam dan penuh intimidasi.
"Anu... Aan, Ibu... Um, minta maaf.. Ibu jalanin tugas dari nyonya, Ibu.. Ibu nggak punya maksud bantah perintah dari Aan sama Kakak." Bu Yati menunduk takut, ia sudah siap menerima cacian, omelan, makian dari tuan mudanya ini sejak semalam. Ya, sejak semalam nyonya-Mama Reyhan- memerintahkan ia dan Pak Yono untuk membawa kursi roda terkutuk itu keluar dari rumah.
"Mama, bisa jelasin? Reyhan nggak pernah Mama ajarin bohong, inget?" Kalau Reyhan sudah bicara seperti ini pada Marina, sifat bossy atau tukang aturnya keluar.
"Mama.. Hm, Mama semalam tugasin Pak Yono sama Bu Yati bawa kursi roda Mama ke Panti Jompo untuk disumbangkan."
"Disumbangkan? Duh, Ma! Itu kan untuk Mama pake, kenapa disumbangin? Mama kok tega. Kalo Mama mau nyumbang, kita bisa beli lantas kita sumbangin. Bukannya punya Mama yang disumbangin," tutur Reyhan kesal seraya mengacak rambutnya frustasi.
"Dengerin Mama dulu, Mama udah sehat-sehat aja, sayang. Kamu lihat kan Mama nggak kenapa-kenapa dari semalam. Alhamdulillah Mama sehat, Mama nggak mau kelihatan seperti orang banyak penyakit. Jangan khawatir, oke?" jelasnya membuat Reyhan menghela nafas dengan kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
CANDU
Teen FictionTerjebak dalam lubang narkoba tentu bukan cita-cita Reyhan a.k.a pemilik Apartemen City se-Jakarta Selatan. Enam bulan sudah berlalu, waktu yang ia sebut untuk mencari jati diri. Namun, apakah pencarian jati diri lebih penting dibanding membahagiak...