Him/Her

154 17 12
                                    

📚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

📚

Gadis berseragam Sma itu berlari tergopoh-gopoh menuju halte bus. Hujan sore itu begitu deras disertai angin kencang dan gemuruh petir yang tak henti-hentinya bersahut-sahutan. Payung yang digunakannya sama sekali tidak berfungsi melindunginya dari tempias air hujan, buktinya sepatu dan sebagian roknya sudah basah.

Hana, gadis itu merasa lega ketika sudah sampai di halte bus, meletakkan payung di sebelah tempatnya duduk. Untungnya ia telah membungkus tasnya dengan mantol tas, Sehingga buku-buku di dalamnya aman tidak basah.

Saat ia menoleh ke sekitar, ia kaget saat ada orang di sampingnya yang kini balas menatapnya. Seorang laki-laki bertubuh tambun dengan seragam jas merah marun dengan kemeja putih di dalamnya. Matanya sendu saat pamdangannya berserobok dengan Hana. Laki-laki itu tersenyum singkat sambil mengangguk, lalu meraih tasnya untuk mengambil sebuah handuk putih di dalamnya.

"Mungkin tidak banyak membantu, tapi setidaknya bisa mengeringkan rambutmu."
Kata pemuda itu.

Hana masih menatap uluran handuk dari pemuda itu.

"Tenang saja, belum aku pakai, kok."

"B-bukan begitu maksudku, kok." Hana tersenyum canggung dan meraih handuk itu lalu mengeringkan rambut panjangnya yang berantakan.

"Kau sekolah dimana?"

"Sman Pancasila. Kau sendiri di Sun Rise Highschool, kan?"

"Iya. Seragamnya terlalu mencolok, ya?"

"Itu terlihat keren."

"Kamu tinggal di sekitar sini? Setauku Sman Pancasila kan bukan di sekitar sini."

"Tadi aku beli buku di sana." Kata Hana sambil menunjuk sebuah toko buku di ujung jalan.
Pemuda itu mengangguk-angguk mengerti.

Gemuruh petir dan suara hujan mengisi kesunyian di antara keduanya. Membiarkan separuh pikiran mereka berkelana jauh.

***

Raut pemuda itu menjadi terlihat kesal ketika mendapati pesan singkat dari ayahnya. Tangannya mengepal dan memukul kursi panjang yang didudukinya.

Hana seketika menoleh. "Kau kenapa?"

"Maaf... Maaf apa aku mengagetkanmu?" pemuda itu berdehem untuk mencairkan suasana canggung yang dirasakan. Sejenak tadi ia lupa bahwa ada orang di sebelahnya.

Hana menggeleng, "tidak. Kau kenapa?"

"Bukan apa-apa hanya sedikit kesal dengan ayahku. Ayah ... melarangku untuk bergaul dengan teman-temanku lagi." kata pemuda itu sambil menatap ponselnya geram.

Hana menghembuskan nafasnya pelan.
"Kalau begitu pasti ayahmu punya alasan, kan?"
"Biasanya kalau orangtua sudah melarang seperti itu, berarti mereka tidak akan membiarkan anak mereka bergaul sembarangan."

Terdengar pemuda itu mendesah berat. Nada bicaranya kelewat seperti orang frustrasi. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang menyangga.
"Menurutku teman-temanku itu baik. Walaupun terkadang mereka menyuruhku untuk membelikan makanan atau membawakan tas mereka."

"Nah, benar, kan? Teman yang sebenarnya tidak akan memperlakukanmu seperti itu. Kau naif sekali."

"Yah ... Mau bagaimana lagi. Dengan melakukan itu aku bisa menjadi bagian dari mereka. Mereka senang, aku pun juga senang."

Hana menatap wajah pemuda itu dari samping. Pipinya yang menyembul hampir mendominasi wajahnya. Wajah pemuda itu terlihat tulus daripada orang -orang yang pernah Hana lihat di sekitarnya.
"Please all and you will please none, ingat itu."

Pemuda itu menoleh ke arah Hana dan terpaku sejenak di manik mata gadis itu. Kata-kata Hana barusan berhasil membuatnya terenyuh dan mengingatkannya akan dongeng yang pernah dibacakan ibunya.
"Mungkin aku terlalu terobsesi untuk mendapat teman."
"Eh? Maaf malah banyak bicara seperti ini."

Hana menggeleng pelan. Lalu, beranjak dari tempat duduk untuk berdiri dan melihat ke arah langit.

"Sendiri juga tidak terlalu buruk, kok. Aku juga sendiri, menurutku manusia memang pada dasarnya sendiri. Dan aku cukup lega saat aku menjadikan itu salah satu prinsipku."
"Kalau begitu aku duluan, ya. Hujannya sudah sedikit reda. Oh, iya handuknya ..."

"Kau simpan saja. Aku masih punya yang lainnya."

"Makasih." ucap Hana diiringi seulas senyum kecil.

"Terimakasih mau mendengarkan."

Hana mengangguk, "sama-sama--" Hana melirik name tag di jas yang digunakan pemuda itu. "Rafi Mahardika."
Setelah itu, Hana berlari kecil menuju ujung jalan.

"T--tunggu.... Namamu siapa?"
Hana telanjur sudah pergi menjauh, meninggalkan sebuah rasa penasaran di benak Rafi.

Find Me In Your Old DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang