Nyatanya, sakit tak membuat Windy kehilangan kata-kata untuk terus mengganti topik pembicaraan. Ia bahkan lebih cerewet ketimbang dua orang lain di ruangannya.
Arya menanggapi Windy tak kalah heboh. Sedangkan Hana menghabiskan waktunya terbenam dalam sebuah buku novel lamanya; tidak ingin menimbrung obrolan sepasang kekasih. Walaupun itu hanya obrolan tak berarah dengan selingan saling ejek dari keduanya.
Tetapi, bukan berarti Hana diabaikan dalam perannya sebagai 'obat nyamuk'. Sesekali baik Windy maupun Arya melibatkan Hana dalam obrolan mereka.
"Pasti dari kemarin lo khawatir banget, kan sama gue?" Windy menyeringai dengan tampang jahilnya.
"Gak tuh, hari ini doang. Gara-gara lo gak kuliah." sangkal Arya, yang sama sekali tak ada gunanya seolah kata bohong sudah terpampang jelas di mukanya.
"Eh, Han. Bener gitu?" Windy mencari pembenaran pada Hana.
"Dia parno banget. Sampai aku kayak bisa lihat mukanya pucat pas dia telpon nanyain kamu dimana," kata Hana tanpa mengalihkan pandangannya dari setiap huruf di novel yang dibacanya.
Seketika bunyi tawa yang tertahan memenuhi ruangan itu. Diikuti Arya yang memelototi Windy gemas. Kalau saja Arya tidak ingat Windy sakit, pasti ia akan meluncurkan puluhan cubitan ke lengan gadis itu.
"Ya, wajarlah kalo gue khawatir. Gue kan soulmate lo," Arya mencoba membela dirinya dengan tampang songong yang dibuat-buat.
"Yah... Gimana ya, Ar. Gue speechless gitu, biasanya gue duluan yang nyamperin lo dan ngajak bicara baik-baik. Tapi, kali ini lo yang bertindak duluan."
Untuk sejenak, ruangan itu diisi keheningan. Hana yang baru saja mengakhiri sesi bacanya, memandangi Windy dan Arya.
"Seiring waktu berjalan, orang bisa berubah. Dan mungkin itu yang baru aja gue alamin. Rasanya sikap egois bikin gue keliatan bego dua kali lipat."
Kali ini, seulas senyum terbit dari wajah Windy. Mencoba mengulang kata-kata yang baru saja dilontarkan Arya di kepalanya untuk dijadikan sebuah pita rekaman yang tergulung manis di sana.
"Lain kali punya hp tuh diisi, kuotanya, pulsa, baterainya juga. Kayak hidup di zaman batu aja," omel Arya dengan sewotnya.
"Iya iya bawel. Belum sempet beli kemarin."
"Omong-omong, lo kan habis dipecat--"
"Lo tau darimana?" potong Windy penasaran.
"Dari Vian, gue tadi cari lo ke sana. Ok, back to topick. Gimana kalo lo kerja di kedai rotinya tante gue? Kebetulan lagi cari karyawan tambahan," tawar Arya.
Windy langsung menyetujui dalam satu anggukan mantap. Mendapat pekerjaan itu penting untuk menyambung hidup. Dengan begitu, satu persoalan terpecahkan, mengurangi beban pusing di kepalanya.
"Kalo dari sini lumayan jauh. Tapi kalo dari kampus deket, kok," imbuh nya kemudian.
"Jangan sampai kelelahan, Win. Kesehatanmu itu nomer satu." ucap Hana setelah memasukkan novelnya ke dalam tas.
"Siap, bos." kata Windy sambil memeragakan hormat seperti saat baris berbaris.
Hana beranjak dari duduknya, membenahi posisi tas ransel yang melorot di bagian bahu. "Kalo gitu aku duluan, ya. Mau buat rangkuman."
"Lho, kok udah mau balik aja? Bentar dulu, gue masih kangen sama Windy." Arya mencoba membuat tampang memelas yang malah direspon geli oleh Hana.
"Ya udah, di sini aja dulu. Aku mau pulang." ucap Hana sembari melambaikan tangan. "daaah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Find Me In Your Old Diary
Teen FictionHana yang mempunyai kemampuan mengingat yang buruk. Bertemu dengan seorang pemuda bernama Rafi, yang beberapa hari terakhir nampak memperhatikan dan mengikutinya. "Find me in your old diary," kata pemuda itu. Meninggalkan rasa penasaran di benak Han...