14 | Missing

40 3 2
                                    

Walaupun selama ini Hana telah merancang kehidupannya sedemikian rupa, seperti sedikit menutup diri dari dunia luar, membatasi pergaulan, dan menjadi tidak mencolok. Bukan berarti Hana tidak pernah mempunyai pengganggu dalam kehidupannya, bukan berarti kehidupannya tentram dan damai.

Hana melewatkan poin terpenting, yaitu terkadang menjadi sendirian itu malah menjadi pemicu seseorang terlihat mencolok, karena saking seringnya sendirian.

Siang ini di kafetaria kampus, seperti biasa Hana duduk sendirian di samping jendela besar tak bertirai. Ia tak menghiraukan terik matahari yang menembus kaca seolah-olah akan melelehkannya.

Satu lagi, ia juga tak menghiraukan seorang cewek berambut panjang di depannya yang tengah menatap sinis ke arahnya.

Baiklah, ini memang sedikit aneh jika tidak tau cerita sebelumnya.

Cewek berambut panjang itu adalah kakak tingkatnya Sewaktu Smp dulu. Tidak bisa disebut sebagai kakak tingkat yang baik, sikapnya dari dulu memang tidak mengenakkan bagi Hana. Ada satu alasan di baliknya. Murti.

Sudah bisa ditebak, bukan? Dania, kakak tingkatnya itu menyukai Murti --teman Hana sedari kecil-- dan pernah memintanya menjadi pacar

Tidak ada yang aneh, kan. Kalau seorang kakak kelas menyukai adek kelas. Apalagi mempunyai poin plus wajah tampan dan jago main alat musik pula.

Tetapi, Murti yang notabenenya tidak tertarik untuk berpacaran, menolak Dania. Dania sendiri malah berpikiran kalau Hana adalah penghalang baginya, karena Murti selalu dekat dengan Hana.

Sejak penolakan itu, Dania mulai merecoki kedamaian hidupnya Hana, dan semakin gencar ketika Murti pindah ke luar kota.

Sialnya, juga Dania dan Hana berada di satu kampus dan satu jurusan. Aksi merecoki kehidupan Hana tak berhenti begitu saja. Masa masa OSPEK dimanfaatkan untuk mengerjai Hana seenak jidatnya.

Kembali ke topik awal.

Siang itu keduanya masih bergeming di antara udara siang hari yang panas dan pengap.

Entah tersambat apa di siang yang se terik itu, Dania dengan sengaja menumpahkan segelas jus apel ke buku-buku milik Hana. Tentu saja, dengan segera ia menyelamatkan buku-buku berharganya itu dari guyuran jus apel.

Sayangnya, bagian pinggir bukunya sudah telanjur basah oleh jus apel. Dania menyeringai sinis tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Maksudmu apa?!" Ucap Hana.

"Maksud gue? Nggak ada, tuh. Kan emang udah kebiasaan dari dulu."

Tanpa membiarkan amarahnya terus bergumul, Hana mengemasi barang-barangnya dengan cepat dan meninggalkan kafetaria. Matanya berkaca-kaca.

Walaupun sudah menguatkan hatinya sedari dulu lamanya untuk menghadapi hal-hal serupa. Tetap saja, rasanya sakit jika diperlakukan seperti itu.

Hari pun dengan cepat berlalu, berangsur berganti menjadi sore yang penuh kelelahan. Sorot mata orang-orang di halte yang merindukan rumah, membawa cerita-cerita hari ini untuk segera diutarakan.

Sore yang penuh kepenatan, kontras dengan sinar senja yang indah. Bukankah seharusnya sinar se indah itu menjadi sedikit penawar bagi kepenatan? Tetapi, bahkan orang-orang melewatkannya.

Begitu pula Hana kali ini, sore yang biasanya ia nikmati di sepanjang perjalanan dalam bus, hanya dihabiskannya untuk mengenyahkan kekesalannya dengan menyelami sebuah cerita di platform online.

Baginya, segala kekesalan dan kepenatan yang mungkin akan ia dapatkan setiap harinya, tidak pantas untuk dibawa pulang. Sehingga rumahnya tetap menjadi tempat ternyaman untuk kembali dari dunia luar.

Selain melewatkan sinar senja sore ini, Hana juga melewatkan --lebih tepatnya lupa-- salah satu agendanya yaitu mendatangi rumah Rafi.

***

Seharian ini Rafi habiskan dengan berbaring di tempat tidur, sesekali menyambangi jendela, menanti kedatangan Hana. Tetapi, sore yang cerah hari ini sedikit mengecewakan. Tidak ada tanda-tanda Hana akan berkunjung. Namun, Rafi masih mencoba optimis dengan menunggunya bersama tik-tok jam yang membosankan.

Bi Minah membawakan nampan berisi menu makan malam untuk Rafi, tidak lupa obat untuk diminum tepat waktu.

"Mas Rafi, makan malam dulu, ya. Habis itu diminum obatnya."

Rafi mengangguk diiringi senyum yang terlihat dipaksakan.

"Mas Rafi kenapa? Masih pusing? Atau mau disuapin sama bibi?"

"Nggak, kok Bi."
"Nanti aku makan sampai habis. Masakan bibi kan enak."

"Nah, senyum gitu dong. Kalau begitu, bibi ke dapur dulu, yah. Nanti kalau butuh apa-apa bilang ke bibi."

Sampai beberapa menit lamanya, Rafi sama sekali tidak menyentuh makanan itu. Sampai-sampai kepulan uap hagat tidak lagi terlihat dari semangkuk sup ayam itu.

Rafi sendiri sibuk mondar-mandir di dekat jendela besar kamarnya. Sesekali memeriksa jam, walau ia pun sudah tau, bahwa hari sudah gelap bukan sore lagi.

Akibatnya, kepalanya kembali terasa berat dan berdenyut. Jadi, ia berhenti mondar mandir dan duduk di tepian tempat tidur. Lalu, ia menghempaskan tubuhnya asal di atas seprei warna krem yang sudah berantakan, ditatapnya langit-langit kamarnya.

Rasanya sulit menggapai Hana. Hana itu seperti langit-langit yang kelihatan dekat, tetapi setelah coba diraih malah menjadi se jauh langit.

Sore itu ayahnya pulang lebih cepat. Deru mobil terdengar memasuki kawasan rumah. Mungkin pekerjaannya hari ini lebih sedikit dari biasanya, atau Pak Erfan sengaja menyisihkan waktunya untuk pulang ke rumah lebih awal demi menemani Rafi.

Pak Erfan menenteng kantung plastik putih berisi roti kesukaan Rafi di dalamnya. Dua pelayan menyambutnya di ruang tengah, Pak Erfan berlalu menuju lantai dua dimana kamar Rafi berada. Sembari berjalan pelan, Pak Erfan mengatur nafas dan memasang senyum sehangat mungkin.

Di dalam kamar, mata Pak Erfan tertuju pada Rafi yang terlentang di atas kasur, juga makanan di atas nakas yang belum disentuh sama sekali, masih utuh.

Meskipun Rafi tau ayahnya memasuki kamar, ia hanya bergeming menatap langit-langit.

"Rafi... Kenapa belum makan?"

Rafi hanya menggeleng.

Pak Erfan yang tadinya berdiri, kemudian duduk di tepian kasur sambil menghela nafas pelan. Sorot matanya sendu menatap Rafi, entah sudah berapa lama keduanya tidak bisa berbicara dengan santai.

"Ayah juga beliin roti kesukaanmu, makan, ya?" bujuk Pak Erfan.

"Tumben ayah pulang lebih awal?" tanya Rafi.

"Emm... Kebetulan pekerjaan ayah lebih sedikit hari ini, jadi ayah bisa pulang lebih cepat."

"Oh, gitu." Rafi merespon singkat. Ia berharap kalau ayahnya pulang cepat karena perhatian dengannya. Tetapi, nyatanya tidak.

"Besok, kalau masih gak enak badan, istirahat saja dulu di rumah, ya."
"Ayah ke kamar dulu."

Percakapan keduanya berakhir singkat, meninggalkan suasana canggung di antara keduanya. Padahal orang-orang biasanya akan lebih dekat satu sama lain apabila lebih sering berkomunikasi. Namun, Rafi dan ayahnya justru berbeda. Setiap kali memulai percakapan, jarak batas tak kentara itu selalu hadir dan terus bertambah.

Semua itu dimulai setelah kepergian ibunda tercintanya. Semuanya terasa canggung, Rafi enggan bertatap muka dengan ayahnya, sedangkan Pak Erfan --yang notabenenya pendiam bingung-- untuk memulai percakapan yang baik dengan anaknya itu.

Find Me In Your Old DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang