7 | Please, look at Me!

61 7 8
                                    

Ini sudah hari ke-dua semenjak Rafi dan Hana bertengkar sewaktu di minimarket. Selama di kampus, Hana seperti menghindari Rafi. Sebaliknya, Rafi merasa canggung mendekati Hana untuk meminta maaf. Benar-nenar seakan ada sekat di antara keduanya.

Tetapi, Rafi tidak nyaman dengan hal seperti ini. Ia tidak bisa tinggal diam dan secepatnya harus minta maaf terlebih dahulu. Masalahnya, nyalinya menciut bahkan saat hanya bertatapan mata sekilas dengan gadis itu. Rafi sungguh tidak mau jauh dari Hana.

Ada satu hal lain yang dikhawatirkannya. Tugas kritik sastra yang belum digarap satu huruf pun. Sementara deadline tiga hari lagi.

Siang itu di bangku taman kampus dekat perpustakaan, Rafi bersandar memandangi langit yang teduh. Tubuhnya seakan lemas tak bertenaga. Bagaimana jika Hana membencinya? Bagaimana jika Hana berpikiran negatif tentangnya? Bagaimana jika Hana akan menjauh selamanya? Pertanyaan model seperti itu sedang ramai berlalu lalang di kepalanya.

Di depan gedung perpustakaan, Windy berdiri mengutak-atik ponselnya. Sedang menunggu Arya --pacarnya-- untuk pergi makan siang berdua. Jarang-jarang Arya mengajak Windy makan siang berdua. Biasanya kalau tidak latihan band, ya pergi ke tempat pemotretan.

Matanya tak sengaja menangkap sosok Rafi yang tengah duduk di bangku taman. Windy berinisiatif mendekatinya untuk mengajak bicara. Lebih-lebih untuk membicarakan sesuatu perihal Hana.

"Hai, Raf," sapa Windy.

Rafi membelalakkan matanya kaget saat melihat ada Windy di depannya. Ia lantas membenahi posisi duduknya menjadi tegap. Lalu, menunduk malu-malu. Menghindari bertatap muka dengan Windy.

"Gue duduk di sini, ya?"

Rafi mengangguk.

"Gak usah malu-malu gitu deh. Santai aja," kata Windy. "Omong-omong soal Hana--"

"Bagaimana kabarnya? Aku... khawatir," potong Rafi.

Windy tersenyum geli melihat Rafi yang begitu lucu. "Lo tau gak? Dia nangis lho, pas habis pulang dari minimarket."

"Astaga... Aku benar-benar merasa bersalah. Aku ingin minta maaf."

"Terus kenapa belum minta maaf? Keburu dendam selamanya, lho."

Rafi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Aku ingin minta maaf. Tapi... Tapi aku tidak bisa."

"Lho, kenapa gak bisa?" Tanya Windy yang diam-diam menahan geli. "Lo tau gak? Sebenarnya Hana juga pengen minta maaf sama lo, tapi dia sendiri juga gak berani. Kalo gini terus, gak bakal ada akhirnya."

"Benarkah?" tanya Rafi. "Hana seperti menghindariku dua hari ini. Bahkan langsung membuang muka saat kami bertatapan. Aku menyesal," Rafi menunduk.

"Sejujurnya aku kesulitan untuk memahami Hana. Dia seakan memberi sekat agar orang-orang tidak bisa langsung menjangkaunya. Mmm ... omong-omong bagaimana caramu bisa berteman dengan Hana?"

"Yah, kami berteman pas awal masuk kuliah. Tepatnya habis OSPEK. Waktu itu banyak yang terjadi. Hana kelihatan banyak beban gitu, ya wajar sih orang seniornya rese-rese banget sama Hana." Windy menghela nafas pelan. "Terus mulai deh gue deketin Hana. Si Hana tuh, awalnya jutek gitu sama gue. Astaga... jutek banget, sumpah. Sekarang aja masih mendingan daripada dulu. Lo masih beruntung, Raf.

Rafi mendengarkan dengan saksama. Tatapannya terlihat serius.

"Sampe akhirnya dia luluh juga mau temenan sama gue. Dia baik banget, asli deh. Gue bersyukur banget punya temen kayak dia. Lo jangan nyerah kalo bener-bener mau temenan sama Hana."

"Pasti aku akan berusaha." Rafi mengepalkan tangan tanda semangat. "Tapi, sekarang aku masih takut kalau Hana tidak mau bertemu denganku lagi."

"Lo se-galau itu gak bisa dekat sama Hana dua hari doang?! Jangan-jangan lo punya perasaan ya sama Hana?"

Find Me In Your Old DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang