10 | Come and I'll Hug 1

46 5 0
                                    

Sekarang ini Windy tengah berada di ruang ganti pegawai untuk mengganti kaos oblongnya dengan seragam kerja. Ia bekerja paruh waktu di sebuah resto masakan India dekat dengan kos-kosannya. Dimulai dari sepulang kuliah sekitar pukul enam sore sampai pukul sebelas malam.

Memang melelahkan sebenarnya. Bekerja di sela-sela kegiatan kampus dengan tugas yang bejibun. Tetapi, Windy itu hebat. Ia tak pernah mengeluh. Semua yang dilakukannya saat ini pasti akan membuahkan hasil suatu saat nanti. Begitulah prinsipnya.

Uang yang dikirim orang tuanya dari kampung tidak seberapa. Hanya cukup untuk bayar semesteran dan harga kosan enam bulan lalu. Ya, enam bulan lalu sebelum harganya naik.

Windy tidak ingin memberi tau kenaikan harga kosan kepada orang tuanya yang sekarang naik tiga persen dari yang dulu. Dia sudah dewasa, pikirnya begitu. Memang semenjak ia memutuskan untuk kuliah di luar kota dan jauh dari keluarga, ia sudah berniat untuk bekerja sampingan. Bergantung pada orangtua lama-lama itu akan membuatnya manja.

Kemeja warna cream dan rok hitam selutut dipadukan dengan stocking dengan warna senada telah ia kenakan. Lalu, Windy berdiri di depan cermin untuk menata rambut dengan gaya dicepol supaya lebih ringkas.

Kemudian, diambilnya apron warna coklat kehitaman pada keranjang di atas meja dan mengenakannya. Setelah itu kembali meneliti penampilannya di depan cermin.

"Hari ini lo harus semangat! Fokus sama pekerjaan!" Ucapnya sambil menepuk kedua pipinya keras.

Windy melihat wajahnya sendiri di depan cermin yang entah mengapa kali ini terlihat kusut. Matanya nampak redup dengan air muka yang kurang bersemangat. Bagaimanapun, dari siang tadi Windy tetap memikirkan cara supaya Arya tidak merasa kesal terus menerus. Sampai-sampai ia tidak memperhatikan dosen yang tengah mengajar.

Windy kembali menepuk kedua pipinya dan mencoba menyunggingkan senyum di depan cermin. "Semangat!"

Dari pintu depan, Yosi melongokkan kepalanya.
"Ayo! Udah lumayan banyak pelanggannya."

Windy pun bergegas keluar mengikuti Yosi dari belakang. Yosi, Gadis bertubuh pendek itu sudah seperti kakak bagi Windy, lebih tua setahun. Sifatnya baik, ia selalu membantu Windy meringkas meja ketika Windy terlihat lelah. Selalu mengingatkannya jika melakukan kesalahan, dan tidak mudah marah.

"Kamu nganter pesenan ke meja nomer tiga, ya." Perintah Yosi.

Windy mengangguk dan segera mengambil nampan serta Meletakkan sepiring roti naan dan segelas teh hangat yang telah disiapkan oleh Pak Yan di atasnya.

Setelah mengantar pesanan tersebut, Windy menghampiri Vian yang tengah mengemasi meja. Pemuda bernama Vian itu seumuran dengannya, tetapi sayangnya ia tidak melanjutkan pendidikannya.

"Sini gue bantuin. Tapi, bukannya lo harusnya udah pulang?" kata Windy.

"Eh Win win ternyata, udah sif lo, ya?" Vian tersenyum lebar.

"Lo nglamun, nih."

"Kalo gitu, lo yang bawa aja semuanya. Gue mau pulang." Vian menunjuk-nunjuk tumpukan piring di atas nampan yang diletakkannya di meja.

"Aishh, ya udah deh."

"Eits, becanda kali. Mana tega sih gue ngebiarin cewek cantik bawa pirinh sebanyak ini." kata Vian dengan senyum tengilnya.

"Dasar bocah tengil. Sa ae lu!" Kata Windy sambil menyunggingkan senyum geli.

"Eh ... Kalian berdua cepet dikit, Jangan bercanda mulu! Tuh pelanggannya pada dateng," kata Yosi yang sedang membawa pesanan untuk pelanggan.

"Siap, kak." ucap Windy dan Vian serempak.

Yosi bukanlah tipikal orang yang bossy alias suka memerintah. Memang ketika bekerja, Yosi seakan-akan dalam mode kerja; bersikap tegas dan disiplin. Namun, ketika berada di luar jam kerja akan berubah seperti bubur. Lembek.

Find Me In Your Old DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang