Keesokan harinya, Rafi bangun pagi pagi sekali. Ia menyingkap tirai jendela, dan melihat ke luar. Ternyata semalam itu turun hujan, Rafi tidak menyadarinya sebab tertidur lelap. Pusingnya sudah berkurang, suhu badannya sudah normal. Rafi berencana berangkat kuliah lebih awal agar tidak bertemu dengan ayahnya. Rasanya masih canggung, Rafi tidak bisa terus terusan dalam kecanggungan. Lebih baik menjaga jarak sementara, agar suasana menjadi lebih ringan.
Hanya butuh waktu kurang dari 20 menit untuk bersiap, Rafi sudah keluar kamar lengkap mencangklong ransel hitamnya dan memakai masker. Suasana rumah masih sepi, di jam jam seperti ini biasanya para asisten rumah tangga masih sibuk di dapur. Ia berjalan menuju tangga dan segera menuruninya, sampai langkah ketiganya berhasil dihentikan oleh suara ayahnya.
"Rafi, tumben sekali pergi pagi pagi seperti ini. Gimana demamnya?" Pak Erfan tengah duduk santai masih --mengenakan piyama-- di balkon ditemani secangkir teh dan biskuit. Ia mengalihkan perhatiannya pada Rafi yang tergesa pergi ke luar.
"Sudah enakan, demamnya juga sudah turun. Rafi berangkat dulu, Yah." jawab Rafi sekenanya.
"Kemari, duduk sini dulu, minum teh sama ayah!" Pak Erfan membenahi duduknya yang semula menyilangkan kaki dan bersandar pada kursi menjadi condong ke arah putranya itu yang duduk di seberang meja.
Walau sesekali, sebenarnya Pak Erfan ingin sekali mengajak putranya mengobrol santai di waktu senggang, bertukar cerita, membicarakan rencana akhir pekan dan aktivitas lain yang membuat keduanya lebih dekat. Namun sayang, boro boro langsung berbicara dan mengajak, Pak Erfan sendiri pun merasa canggung dan tak tau harus bersikap bagaimana terhadap anaknya, sama seperti Rafi. Keduanya sama sama pendiam dan tertutup soal isi hati dan kepala mereka.
Rafi duduk berhadapan dengan Pak Erfan, tetapi matanya tak bisa berkontak langsung dengan ayahnya. Rafi memandangi teko kecil dan cangkir teh di depannya yang uap hangatnya tercium khas --Rosela-- ia diam dan menunggu ayahnya membuka percakapan.
"Sudah lama, ya, kita tidak minum teh bersama. Juga membaca buku di akhir pekan dan saling bertukar opini setelah rampung membaca."
"Makan di luar bersama sepertinya mengasyikan juga."
"Atau mungkin pergi ke pameran seni akhir bulan ini akan menarik." Di tengah basa basinya, Pak Erfan menyesap tehnya sedikit dan melihat raut muka Rafi akan seperti apa reaksinya.Tentu, Rafi sama sekali tidak menangkap ke arah mana obrolan itu akan berlanjut, ia cukup jengah, jadi, langsung saja ia bertanya.
"Ayah mau membicarakan apa?"
Pak Erfan tak kunjung menjawab pertanyaan singkat dari Rafi, dan Rafi pun masih bersabar menunggu walau sama sekali tidak suka keheningan lama di antara mereka. Duduknya jadi gelisah, ingin segera pergi saja, tapi tentu saja itu tidak sopan. Maka ia mengalihkan pandangannya ke halaman rumah dimana pohon pohon --yang ia tidak tau namanya-- berjejer dengan rindang. Satu, dua daun pohon di depan rumahnya berjatuhan. Membuat Rafi larut dalam pikiran sampai ayahnya membuka suara.
"Ayah minta maaf, Rafi."
"Ayah sadar belum bisa menjadi ayah yang baik selama ini. Jadi..."
Pak Erfan mengambil cangkirnya, menyeruput teh perlahan dan mengalihkan pandangan menuju jendela. Ia sangat gugup, berbincang dengan putranya lebih dari 10 detik saja. Sebenarnya pembicaraan pagi ini pun dilakukannya secara tiba-tiba.Pak Erfan menaruh kembali cangkirnya dan beralih menatap Rafi. Putranya itu hanya diam menatap kaki-kaki meja.
"Mari kita mulai dari awal, untuk membangun hubungan yang lebih baik lagi."
Rafi menatap ayahnya sekilas, lalu kembali pada kaki meja di depannya. Ia terdiam masih mencerna kalimat yang dilontarkan oleh ayahnya. Lagi-lagi ia menemui kebuntuan untuk menghadapi ayahnya. Rafi sama sekali tidak mempersiapkan mentalnya untuk ini.
Bagaimanapun keduanya sama-sama canggung.
Rafi berusaha bersikap biasa walau hatinya seperti diremas kuat kuat dan membuatnya ngilu. Memang, Rafi sangat sensitif perihal rasa, empati dan emosi orang-orang di sekitarnya.
Rafi diam dan membatin, bertanya pada diri sendiri. Apakah ini kalimat yang ia ingin dengar dari ayahnya setelah waktu yang lama? Apakah ini sedikit melegakan hatinya?Rafi menghela nafas. "Sejujurnya, Yah. Ini membuatku canggung. Akan lebih baik jika bersikap seperti biasa. Ayah pasti juga lebih nyaman seperti itu, kan?"
Pak Erfan tidak mengira jawaban Rafi akan demikian. Ia tidak mengenal anaknya dengan baik. Bahkan setidaknya menebak jalan pikirnya.
"Rafi, dengar!"
"Ayah tidak mengerti maksudmu. Apa kamu baru saja menolak ayah?"
"Hubungan ayah dengan anak tidak seharusnya seperti ini. Ayah hanya ingin menjadi lebih akrab denganmu."
Pak Erfan mengamati putranya yang kini terlihat tidak fokus. Matanya terus melirik ke sana kemari serta menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa hanya diam?"
"Rafi tidak menolak ataupun mengatakan setuju, Yah. Tolong bersikap seperti biasa saja." Jawabnya lirih.
Pak Erfan mendengkus, perlahan ia memijit kedua pelipisnya.
"Rafi, selama ini kamu kelihatan murung, dan seperti menghindari ayah. Benar begitu?"
"Kenapa tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, Yah?" Rafi membenahi posisi duduknya yang sudah tidak nyaman sedari awal.
" dan juga... Aku tidak merasa melakukannya."
"Seperti sekarang ini, bukannya kamu menghindari ayah?"
"Kenapa ayah tidak menyimpulkan sendiri seperti yang sudah sudah?"
"Apa maksudmu?" tanya Pak Erfan.
"Memangnya ayah tau apa yang aku rasakan? kenapa selalu menyimpulkan sesuatu dengan mudahnya, seakan akan ayah tau semuanya?"
"Ayah bahkan hanya tau makanan kesukaanku, genre buku yg kusuka, itupun hasil dari tanya ke bi Minah."
"Apakah ayah benar benar sayang sama Rafi?" "apa semua itu hanya palsu, yah? Atau ayah hanya memainkan peran sebagai ayah pada umumnya?"Rafi mengatur nafas. Ia menjaga nada bicaranya tetap stabil. Walaupun jantungnya di dalam sana sudah tidak karuan, berdetak dengan kencangnya.
"Tolong jaga ucapanmu, Rafi!"
Pak Erfan juga berusaha tenang, air mukanya tidak menunjukkan kemarahan maupun mengintimidasi. Tatapannya hanya memberikan aura ketegasan. Dilihatnya Rafi yang sudah ingin segera meninggalkan kursi pendek itu."Ayah hanya ingin memberikan yang terbaik buat kamu Rafi, ayah berusaha mencukupi kebutuhanmu, itu saja!"
Rafi beranjak dari kursinya, menunduk serta berpamitan kepada Pak Erfan yang masih memperhatikannya.
"Rafi izin berangkat dulu, Yah." Ucapnya sambil menggendong tas ransel.
Di lantai bawah, bi Minah yang kebetulan lewat, melihat Rafi yang tidak seperti biasanya.
Bi Minah pun menghampiri Rafi yang baru saja akan memegang gagang pintu.
"Mas Rafi sudah mau berangkat? Kenapa nggak sarapan dulu?" Tanya bi Minah sembari mengelus lengan Rafi.
Rafi tersenyum pada bi Minah.
"Rafi ingin belajar di perpustakaan dulu, Bi.""Tapi, tetap saja. Mas Rafi harus sarapan dulu. Kan masih harus minum obat." Bujuk bi Minah.
"Kalau begitu, bi Minah siapin bekal dulu, ya."
"Tidak perlu repot-repot, Bi. Beneran." Ucapnya sembari memegang lengan bi Minah.
"Mas Rafi diam di sini dulu. Nggak bakal lama, kok."
Akhirnya Rafi setuju untuk dibawakan bekal. Ia menunggu sambil duduk di sofa dan mengecek pesan di handphonenya.
"Ah! Pesan dari Hana."
"Maaf, kemarin aku lupa!"
Entah mengapa pesan singkat dan terkesan dingin itu membuatnya sedikit lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find Me In Your Old Diary
Teen FictionHana yang mempunyai kemampuan mengingat yang buruk. Bertemu dengan seorang pemuda bernama Rafi, yang beberapa hari terakhir nampak memperhatikan dan mengikutinya. "Find me in your old diary," kata pemuda itu. Meninggalkan rasa penasaran di benak Han...