6 | I'm Not a Stalker

46 6 1
                                    

Hana tidak menyangka Rafi juga mendatangi minimarket itu. Entah suatu kebetulan atau apa. Ini pertemuan kebetulannya dengan Rafi yang kesekian kalinya. Pemuda itu menyunggingkan senyum sumringah. Tetapi, Hana hanya menatapnya dengan memasang wajah datar seperti biasa.

Canggung.

Rafi merasa canggung, lalu mengendurkan senyum. Ia berbalik badan untuk menepuk-nepuk kedua pipinya. Hana tidak menghiraukan pemuda itu dan langsung memasuki minimarket. Sementara itu gerimis kembali mengguyur jalanan.

Rafi yang medapati Hana lebih dulu masuk minimarket, buru-buru mengikutinya. Pemuda itu menuju ke lorong rak makanan ringan, sembari celingukan mencari Hana.

Di lorong rak bahan makanan, Hana berjalan pelan sambil menenteng keranjang plastik di tangan kirinya. Diambilnya satu pcs telur ayam, tiga bungkus mie instan, lima kaleng sarden, satu bungkus keju batang dan satu pcs oat meals. Lalu beralih ke rak yang berisi deterjen dan sejenis pembersih lain. Kemudian ia mengambil satu picis deterjen dan pewangi ukuran besar, serta sebotol shampo.

Hana teringat sesuatu sebelum tiba di meja kasir. Susu bubuk di rumah sudah habis, begitu juga persediaan kopi bubuk yang sudah menipis. Beberapa hari terakhir ini ia sering begadang dan terus-terusan membuat kopi saat larut malam. Selain kopi, terkadang Hana juga meminum susu untuk menemani sarapannya.

Rak berisi kopi dan susu saling berhadapan. Jadi, setelah mengambil sekotak susu, Hana beralih ke rak bagian kopi. Agaknya Hana bingung, ia berpikir sejenak sebelum mengambil sebungkus kopi di depannya.

Hana tergiur dengan merk baru, tetapi merk lama yang sering dibelinya juga sayang kalau tidak dibeli. Hana berpikir, jika ia membeli keduanya, itu akan mengurangi jatah bulanan untuk membeli buku.

Sementara itu, Rafi dengan beruntung menemukan Hana yang tengah berdiri mematung di depan rak berisi kopi.

"Hana, sedang apa kau di situ?" Tanya Rafi ikut kebingungan.

Hana menatap Rafi cukup lama sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan pemuda itu.

"Memilih kopi," Hana mendengkus. "Kau sendiri?"

Rafi yang balik ditanya malah jadi salah tingkah sendiri.
"Aku juga sedang membeli sesuatu. A... Anu, ini dia." Rafi mengambil sekotak susu di rak sampingnya. Lalu, memegangnya di depan dada.

"Kau suka susu, ya?" Tanya Hana.

Rafi mengangguk-angguk.

"Bahkan untuk balita?" Imbuh Hana.

Rafi terkesiap dan buru-buru membaca tulisan di kemasan susu kotak tersebut. Di dalam hati, ia merutuki dirinya atas kecerobohan yang dilakukannya itu. Mengapa tadi tidak mengambil makanan ringan yang jelas-jelas sempat ia lewati.

"Jujur saja, dari awal bertemu, aku menyangka jika kau terus membuntutiku. Tetapi, aku menepis pemikiran itu jauh-jauh. Namun, kali ini aku jadi semakin yakin jika kau membuntutiku." Hana angkat bicara mengenai beberapa deretan pertemuan kebetulan yang dialaminya dengan Rafi. Ini sedikit mengganggu pikirannya dalam seminggu terakhir.

Di depannya, Rafi berdiri mematung. Raut wajahnya tampak kebingungan untuk menanggapi kata-kata Hana.

Berhubung Rafi tidak mulai berbicara, Hana kembali mengutarakan argumen pendukung untuk pemikirannya itu.

"Terlebih lagi minimarket ini dekat dengan rumahku." tambah Hana yang semakin menatap Rafi tajam.

"Ak...aku tidak membuntutimu, kok. Kebetulan aku ingin membeli sesuatu di sini. Juga... Rumahku di dekat sini," Jawab Rafi.

Akan tetapi, Rafi bukanlah pembohong yang baik. Setiap kali ia berbicara kebohongan, matanya akan berkedip lebih kerap.

"Oh, benarkah. Dimana itu?"

"Di La Hermosa."

"Wah, rupanya kau benar-benar anak sultan, ya." Hana mengambil sebungkus kopi merk lama dan memasukkannya ke dalam keranjang. "Tapi, kau tidak hilang ingatan, kan?"

Rafi mengernyit tak paham. "Maksudnya?"

"Aku pernah memberi taumu sebelumnya. Walaupun kita sudah berkenalan dan bahkan sekarang satu kelompok. Bukan berarti kita bisa akrab." Hana menjelaskan kembali perkataannya tempo hari.

Lagi-lagi pemuda itu hanya terdiam. Dalam hatinya ia mengaku jika ia memang membuntuti Hana. Tetapi, Rafi tidak bermaksud buruk pada Hana. Ia hanya ingin bisa berteman.

"Atau jangan-jangan hobimu ini memang menguntit orang?"

Rafi hanya diam menundukkan kepala. Kata-kata yang dilontarkan Hana begitu menohok. Sampai-sampai Rafi kebingungan bagaimana menjelaskan kepada Hana. Sedangkan suasana terasa semakin menegang di antara keduanya. Jika terus dibiarkan Hana akan salah paham terhadap Rafi.

"Berhenti membuntutiku, itu menjijikkan." Hana melewati Rafi, menuju kasir.

Setelah melakukan pembayaran di meja kasir, Hana buru-buru keluar minimarket. Suasana hatinya memburuk, ditambah lagi gerimis yang sedari tadi turun belum juga mereda. Hana membuka payung lipatnya bersamaan dengan Rafi yang membuka suara.

"Aku mengakui, semua ini bukan kebetulan. Tapi, aku benar-benar tidak mempunyai niat buruk padamu." Rafi menghela nafas. "Aku... Aku hany--"

"Hanya apa?" kata Hana memotong.

"Ak...aku ingin berteman." Kata Rafi dengan suara parau.

"Omong kosong macam apa itu?"

"Tapi sungguh, aku kesepian." sorot mata Rafi menyendu menatap air hujan yang jatuh merintik di dekat kakinya.

"Setiap orang wajar merasa kesepian!" Tukas Hana. Matanya memerah dan berkaca-kaca entah karena apa.

"Agaknya kau masih saja berpegang pada prinsipmu, ya? 'Manusia memang pada dasarnya sendirian'."

Hana yang sebelumnya memunggungi Rafi, kini berbalik menatapnya. Matanya membulat tak percaya Rafi megetahui sampai se-detail itu.

"Bagaimana kau tahu? kau benar-benar penguntit sejati. Hebat sekali."

"Aku bukan penguntit!"

"Lalu apa?! Memangnya kau punya alasan apa?"

Rafi kembali tak bisa bersuara. Tenggorokannya sekan tercekat.

"Seseorang punya alasan untuk setiap perbuatannya termasuk menguntit!"

"Sudah kubilang, aku bukan penguntit. Aku... Aku hanya--"

"Ah... Sudahlah." Hana bergegas pergi setelah membuka payung lipatnya. Sementara itu, Rafi memandang Hana yang semakin menjauh. Hatinya sungguh sakit seakan diiris-iris. Pedih sekali mendengar Hana mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan.

Rafi ingin mengejar, tetapi lengannya tiba-tiba ditahan seseorang dari belakang. Rafi menengok ke belakang untuk melihat siapa yang menarik lengannya. Ternyata itu pak Zainal.

"Mas Rafi, ayo pulang! Pak Erfan menyuruh mas untuk segera pulang," kata pak Zainal sambil tersenyum ramah.

Rafi masih berdiri terpaku, menatap langit kelabu yang menurunkan hujan deras sore itu. Selama beberapa detik sebelum masuk ke dalam mobil, Rafi kembali melihat ke arah dimana Hana pergi. Gadis itu sudah tidak kelihatan lagi.

"Mari masuk." Pak Zainal membukakan pintu mobil untuk Rafi. Rafi mengangguk tanda terima kasih, lalu masuk dan duduk bersandar di kursi mobil. Kepalanya mendadak terasa berat. Akhirnya ia tertidur seiring mobil melaju di jalanan.

Sementara itu Hana sudah sampai di depan rumahnya dan mendapati Windy berdiri menunggu di teras.

Windy yang tahu akan kedatangan Hana, lalu menoleh. Hana terlihat berantakan dengan mata yang terlihat merah dan sembab. Sesekali ia sesenggukan. Pakaiannya juga terlihat basah di beberapa bagian.

"Lo kenapa, Han?" Windy menghampiri Hana dengan cepat. Raut wajahnya begitu khawatir.

Hana lebih dulu masuk ke dalam rumah tanpa bicara sepatah kata pun. Disusul Windy yang masih bingung mengenai apa yang sudah terjadi.

"Lo kenapa, Han?" Tanya Windy kedua kalinya.

Hana berhenti sejenak setelah melepaskan alas kakinya.
"Aku... Aku melakukannya lagi," ucap Hana dengan suara parau.

Find Me In Your Old DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang