5 | Memories in Rain

55 7 12
                                    

Rafi dan Hana keluar dari perpustakaan saat hujan sedang deras-derasnya menggempur bumi. Jalan setapak di depan gedung perpustakaan pun menjadi samar-samar berkat derasnya hujan. Air mengalir menuju selokan menimbulkan suara gemericik yang seolah-olah memainkan harmoni di sana.

"Wah, benar-benar turun hujan."
Rafi memainkan jemarinya di bawah rintikan hujan.

"Selamat, keinginanmu terkabul," ucap Hana datar. "dan sekarang aku lapar."

"Lapar?" Rafi melepas tas ranselnya dan merogoh sesuatu di sana. "Aku masih punya roti tadi pagi." Rafi menunjukkan tiga buah roti di tangannya pada Hana.

"Sudah kubilang aku tidak suka." Hana menegaskan sekali lagi. Barangkali pemuda itu tidak mendengarnya atau mungkin lupa saat Hana berbicara tadi pagi.

"Bagaimana kalau kita ke kafetaria?" Tanya Rafi. "Aku membawa payung. Tunggu sebentar." Rafi mengingat-ingat dimana ia menaruh payungnya, sedangkan Hana memperhatikan mimik muka Rafi yang tengah kebingungan itu yang tampak lucu.

"Oh benar juga. Aku tidak sengaja meninggalkannya di kelas tadi." Lucunya, Rafi menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi muka. Sambil berjongkok pula.

"Tidak apa. Kalau payung, aku bawa, kok." Hana mengambil payung lipat dari dalam tasnya. "Tunggu sampai hujan sedikit mereda."

Keduanya berdiri menatap hujan dalam keheningan. Larut dalam pikiran masing-masing. Rasanya sebagian besar orang mempunyai cerita yang berkaitan dengan cuaca yang namanya hujan ini. Begitu pula dengan Rafi yang menyukai hujan, sedangkan Hana tidak.

Bagi Hana, hujan mempunyai memori tersendiri di dalamnya. Memori yang sungguh tak mengenakan untuk dikenang. Tetapi, Hana terus-terusan teringat kenangan-kenangan itu saat hujan turun. Padahal, Hana tidak menuliskan kenangan itu pada diary nya agar ia tidak mengingatnya. Karena memang baginya memori itu tidak perlu untuk diingat.

Memori-memori di kepalanya itu ia ibaratkan sebagai sampah yang harus dipilah. Mana yang harus dibuang dan disimpan.

Sedangkan bagi Rafi, hujan sangat menyenangkan. Itu membuatnya teringat pada almarhum ibunya. Ketika Ibunya menemani Rafi bermain hujan-hujanan, saat ia tidur meringkuk dan dipeluk ibunya ketika turun hujan, serta segelas cokelat panas buatan ibunya. Apabila mengingat hal semacam itu, mendadak hatinya menghangat.

"Aku menyukai hujan. Bagaimana denganmu, Hana?" Tanya Rafi dengan senyum mengembang.

"Tidak begitu suka. Tapi, aku suka aromanya."

"Petrikor, ya. Aku juga suka." Rafi menatap awan-awan yang menggantung. "Aku rasa hujannya akan berlangsung lama. Karena hujan kali ini datang bersama mendung putih."

"Mendung putih? Bukan kelabu?" Tanya Hana.

"Lihat." Rafi menunjuk ke arah langit, Hana mengikuti arah tangan Rafi dengan antusias." mendungnya tak sepenuhnya abu-abu kan? Tapi lebih dominan putih. Itu tandanya hujan akan berlangsung lebih lama."

Hana mendengarkan Rafi secara saksama sembari melihat ke arah wajah pemuda itu. Jarang sekali ia merasa sebuah pembicaraan bisa se-mengasyikkan seperti ini. Semuanya terasa mengalir di telinganya.

Kali ini Hana merasa berbeda dari hari-hari biasanya saat hujan datang. Paling-paling ia akan tidur sebab suasana hatinya memburuk. Atau menyumbatkan earphone di kedua telinganya, mendengarkan debat politik yang ia rekam di ponsel. Tetapi, kali ini hatinya merasa ringan.

"Semoga saja hujannya sedikit mereda. Supaya kau bisa pergi ke kafetaria untuk makan." kata Rafi sambil menatap Hana.

Sepersekian detik setelah keduanya saling bertatapan. Rafi membuang muka cepat dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Di sisi lain, Hana menatap Rafi heran.

"Kau kenapa?" tanya Hana.

"Ah, tidak. Bukan apa-apa," jawab Rafi. Hana bisa melihat Pipi pemuda itu yang terlihat memerah dari samping. Bahkan telinganya pun ikut memerah.

Baru kali ini Hana mendapati orang yang modelnya seperti pemuda di sampingnya ini. Sedikit-sedikit malu, sedikit-sedikit menutup wajah yang mulai memerah seperti kepiting rebus. Tetapi yah, bagi Hana, Rafi adalah orang yang menarik.

***

Hujan telah sedikit mereda sehingga Rafi dan Hana bisa menuju ke kafetaria. Keduanya berada di bawah satu payung. Alias berbagi. Rafi yang memegang payungnya. Karena jika Hana yang memegang, kepala Rafi akan tersangkut di payung. Sebab pemuda itu begitu jangkung dibandingkan Hana yang tingginya terpaut 10 cm.

"A... Apa tidak apa-apa seperti ini?" tanya Rafi.

"Memangnya kenapa? Kau tidak nyaman?" tanya Hana.

"Bukan begitu maksudku. Hanya saja--"

"Tenang saja, aku tidak mudah baper, kok."

Rafi senang sekali bisa satu payung dengan Hana. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan betapa berbunganya hatinya sekarang ini. Semuanya terasa seperti mimpi. Gadis yang dikaguminya berada di sampingnya. Yah, walaupun lagi-lagi hanya memasang wajah cuek bebek dan datar.

Keduanya telah sampai di kafetaria. Di dalam kafetaria tidak ada pengunjung. Hanya ada mas Jefri dan bu Indah di sana.
Hana memesan nasi goreng dan tentu saja segelas kopi hangat. Rafi juga memesan pesanan yang sama.

"Aku saja yang bayar." Rafi mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompetnya.

"Aku bayar sendiri saja," kata Hana.

"Aku mohon kali ini saja," Kata Rafi sembari menunjukkan matanya yang berbinar.

Di belakang meja kasir, mas Jefri menahan tawa melihat dua orang di depannya yang memperebutkan tentang siapa yang akan bayar.

"Kalian ini ngapain, sih?" mas Jefri menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku bayar sendiri saja." Hana dengan cepat meletakkan uang pas di meja kasir. Kemudian menuju meja di samping jendela.

"Huff. Ya sudahlah. Lain kali pasti bisa." ucap Rafi lirih sembari menyodorkan uang pada mas Jefri.

"Kembaliannya 85.000, ya." Mas Jefri mengambil uang di laci. "Omong-omong lo suka sama Hana, ya?" tanya mas Jefri sambil mengangkat-angkat kedua alisnya.

Sedangkan Rafi, bukannya menjawab malah menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Sampai-sampai salah tingkah dan menutupi wajahnya.

Mas Jefri ini memang terus terang sekali kalau bicara. To the point, tidak suka basa-basi. Orangnya juga bisa dengan mudahnya tahu apa yang dipikirkan orang lain. Selain itu, mas Jefri bahkan bisa tahu karakter orang dari gerak-geriknya.

"Ya udah, ya udah. Gue ngerti, kok. Semangat, bro." kata mas Jefri sambil menepuk pundaknya Rafi.

Rafi menyusul Hana yang kini tengah sibuk dengan buku diary nya. Sepiring nasi goreng yang beberapa menit lalu dibeli, sudah habis dilahap. Begitu pula kopi yang kini tinggal gelasnya saja.

"Cepat sekali habisnya." Rafi melongo. Sementara Hana tidak menggubris dan masih melanjutkan aktivitas tulis menulisnya.

Seperti biasa sebelum menyantap makanannya, Rafi menangkupkan kedua tangan untuk berdoa sambil memejamkan mata --itu kebiasaannya sewaktu kecil. Setelah itu menyantapnya pelan-pelan.

"Aku sangat lama saat makan," kata Rafi.

"Tidak apa-apa. Aku akan menunggu." Hana menatap ke luar jendela yang memburam terkena tempias hujan. "Masih hujan, nanti ke kelas dulu, kan? Ambil payungmu?"

"Iya, makasih."

***

Setelah menemani Rafi mengambil payung yang tertinggal di kelas. Hana menuju halte bus untuk segera pulang. Hampir saja ia lupa, bahwa Windy akan menginap di rumahnya untuk mengerjakan tugas. Tadi, saat Hana di kafetaria, Windy mengirimi pesan singkat. Katanya ia ingin menggunakan printer milik Hana karena Windy tidak punya printer, padahal ada tugas makalah yang sudah menumpuk saja.

Hana turun di halte bus perempatan jalan sebelah utara rumahnya. Lalu, mampir ke sebuah minimarket untuk berbelanja. Tetapi sebelum masuk, ia mengingat-ingat barang apa saja yang sudah habis dan harus ia beli. Cukup lama Hana mengingat-ingatnya, akhirnya Hana memutuskan untuk langsung masuk ke minimarket sambil melihat-lihat barang yang ada di setiap rak. Siapa tahu ada yang akan ia beli.

"Kau di sini juga ternyata."

Find Me In Your Old DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang