4 | Yours and Mine

75 7 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


📚

Satu jam berada di perpustakaan, mencari buku dari rak ke rak, dari setiap baris paling atas dan bawah membuat bahu, leher dan kaki terasa pegal.

Hana sudah membawa dua buku ke meja dan duduk bersandar di kursi kayu berpelitur dengan meja bundar di depannya. Sementara Rafi masih mencari buku tambahan untuk referensi.

Tidak banyak orang di perpustakaan. Terakhir kali Rafi dan Hana datang, ada dua mahasisiwi, empat orang yang sedang duduk bersama mengerjakan sesuatu, dan seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan dengan earphone yang menyumbat di kedua telinganya.

"Belum ketemu juga?" Tanya Hana

"Aku tidak terbiasa mencari buku diantara buku sebanyak ini di perpustakaan." jawabnya. "Mengapa kau tidak membantu?"

"Kakiku pegal."

Tak lama setelah itu Rafi mendatangi Hana dan ikut duduk di seberang meja. Rafi puas setelah mendapat buku yang diinginkannya. Sambil merenggangkan lengannya, Rafi menatap Hana yang bersandar di punggung kursi, yang kini tengah memijati tengkuknya yang tertutup rambut sebahunya itu.

"Aku menyukai buku." kata Rafi.

"Lebih tepatnya aku suka mencari kutipan-kutipan yang bagus."

"Logophile ternyata." Hana manggut-manggut. "Kau tidak terlihat seperti penyuka buku."

"Jangan terlalu cepat menilai orang dari luarnya saja." Rafi terkekeh.

Kini mereka sudah mendapatkan buku-buku yang kiranya berguna untuk membantu mengerjakan tugas. Satu buku terjemahan antologi puisi karya Emily Dickinson beserta versi aslinya dan beberapa buku referensi tentang pengkajian sastra.

"Kau tahu? Dari semua bagian-bagian buku, yang paling kusuka adalah judul. Karena judul harus bisa menggambarkan bagaimana isi buku. Selain itu, judul juga bisa mempengaruhi ketertarikan si calon pembaca." ucap Hana sembari mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Emmm.... Bicara tentang judul. Aku malah kepikiran mengenai nama orang." Rafi ikut-ikutan mencondongkan badannya ke depan. "Hana sasmita. Apa arti dari nama itu?"

Perlahan Hana memundurkan posisi badannya untuk kembali bersandar ke punggung kursi. Ia merasa mukanya tadi terlalu dekat dengan Rafi, sampai-sampai aroma parfum milik pemuda itu seakan bersarang di hidungnya. Sesederhana itu aroma parfum membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

"Hana berarti bunga, bisa juga berarti anggun. Sementara itu sasmita ... Ada banyak artinya.
Tapi, jika mencarinya di mesin pencari, maka yang keluar adalah selalu tertawa, ramah, pekerja keras."

"Namamu bagus." Rafi memuji.

"Kau tidak sedang mengejekku dalam hati, kan? Bagaimanapun aku sendiri menganggap namaku berkebalikan denganku," Ucap Hana dengan tatapan tajam.

"Ma ... Mana mungkin." Rafi tergagap berkat tatapan gadis itu.

"Omong-omong namamu itu mencerminkan dirimu ... kurang lebih." Kata Hana." Rafi Mahardika, seorang yang baik, penyayang, seperti bangsawan ... Kira-kira seperti itu."

"Mahardika itu nama belakang ayahku. Keluarganya memakai nama Mahardika sebagai nama belakang." Jelas Rafi.

"Bukannya aku selalu memperhatikanmu. Tapi, itu nama yang cocok dengan perilakumu. Kau selalu mencoba melakukan sesuatu secara perfeksionis dan hati-hati. Lalu, caramu berjalan yang lembut dan tampak seperti peraga busana, cara berpakaian yang selalu rapi, cara duduk yang tegap, gayamu saat membuka buku dan menyentuh setiap halamannya dengan pelan. Terlepas dari semua itu, ada hal yang justru mengganggu penilaianku, yaitu gerakanmu itu seperti kura-kura. Lamban."

"Emmm.... Terimakasih atas pujiannya." Ucap Rafi, pipinya menyemu. "almarhum ibuku mengajariku banyak hal. Termasuk etika, bagaimana aku harus bersikap, memperlakukan orang lain, atau bahkan bagaimana aku harus memperlakukan benda mati. Ibuku pernah berkata: 'Perlakukan sesuatu layaknya memperlakukan sebuah manuskrip kuno'." mata Rafi menyendu bersamaan dengan senyumnya yang mengembang.

"Akan tetapi kalimat terakhir begitu menusuk." Tambah Rafi. "Ah, benar juga. Baru kali ini aku mendengarmu berbicara begitu panjang."

Hana mendengarkan setiap perkataan Rafi dengan saksama. Lalu, bagaimana mimik mukanya saat berbicara. Itu salah satu kebiasaan Hana. Sebagai langkah pertama menilai orang, yaitu dari cara mereka berbicara. Karena dari kalimat-kalimat yang dilontarkan, kita bisa melihat bagaimana watak seseorang. Satu hal yang membuat dirinya sendiri tak nyaman. Hana tidak suka dirinya yang tidak bisa menanggapi sebuah pembicaraan. Juga tidak bisa mengekspresikan apa yang dipikirkannya secara langsung.

Pintu perpustakaan terdengar dibuka dan ditutup beberapa kali. Rupanya beberapa orang yang tadi di dalam perpustakaan sudah pergi. Suasana jadi terasa hening walau memang sejak awal perpustakaan memang seperti itu.

"Ada orang yang menganggap jika nama itu adalah doa. Lalu, mereka berharap pada nama itu supaya kelak anak-anak mereka tumbuh seperti harapan mereka. Sementara aku, sepertinya sudah melenceng."

"Itu tidak benar, Hana. Menurutku, nama ya nama. Sebagai sebuah panggilan." kata Rafi. "Nama tidak akan membuatmu menjadi 'apa'." Rafi mencoba mengutarakan pendapatnya.

"Ya, benar juga," ucap Hana.
"Tiba-tiba aku merasa iri. Karena rupanya kau berhasil tumbuh bersama namamu itu."

"Yah, tidak juga. Sebenarnya aku tidak suka menggunakan nama belakang ini."

"Hm?" Hana mengernyit.

"A ... Anu. Bukan apa-apa." Rafi menunduk menyembunyikan wajahnya dari Hana.

Sedangkan Hana malah acuh. Ia memeriksa kembali buku yang diambilnya dan juga yang diambil oleh Rafi. Semuanya ada lima buku. Dengan satu buku yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan tugas.
"Kenapa kau mengambil buku Le Petit Prince ini? Bukannya kita akan menggunakan antologi puisinya Dickinson?" Tanya Hana sembari melihat-lihat isi buku tersebut.

Rafi mengangkat wajahnya melihat buku Le Petit Prince yang kini di tangan Hana.
"Aku ingin membacanya. Minggu lalu aku ingin membeli buku itu di online shop, tetapi stock-nya habis. Beruntungnya, aku menemukannya di sini."

Find Me In Your Old DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang