Catatan 04

846 79 178
                                    

Tak butuh waktu lama Erick menjadi orang yang paling dibicarakan seantero sekolah. Cowok itu menjadi bahan pujian sekaligus bahan gosip yang rasanya sekali dibahas tidak akan ada habisnya. Erick yang tampan, Erick yang perfect atau Erick yang cool, dan segala jenis pujian lain yang beranak-pinak. Beberapa siswi yang hanya bermodal make up, akan selalu membuat banyak alasan untuk bisa lewat di depan kelas Kara. Tujuannya satu hanya untuk melihat Erick atau mendapat perhatian dari cowok itu. Sebagian lagi akan jadi penonton setia yang parkir di tepi lapangan, hanya untuk menanti pria itu keluar kelas.

Pergaulan Erick lumayan bagus, adaptasinya di kelas cepat. Malabi jadi perantara yang baik.

"Kalau saja, ada empat Erick di sekolah, gue akan bahagia," komentar Jessy suatu kali ketika pulang sekolah.

"Gue lebih bahagia kalo bisa jalan-jalan atau makan-makan sepuasnya," Kara seperti menolak segala kelebihan Erick.

"Gue perhatiin lo kayak kurang begitu suka pada Erick," Jessy berkomentar.

Kara hanya melihat sahabatnya itu sekali.

"Dan beberapa hari ini gue belum pernah ngeliat lo ngobrol bareng dia. Bangku kalian hanya berjarak kurang dari 20 cm," lanjut Jessy.

"Jess, gak ada kewajiban gue harus ngobrol bareng dia."

"Kalian gak ada masalah kan?"

Kara tercenung sebentar. Masalah? Entah kata apa yang paling pas untuk menggambarkan apa yang terjadi padanya dengan Erick. Mereka tidak pernah terlibat cekcok, bertengkar atau apa pun yang melibatkan emosi. Tapi Kara tahu pasti alasan mengapa dia enggan berbicara pada Erick, sejak cowok itu masuk kelas untuk pertama kali.

***

10 Februari 2007

Sabtu ini Jessy mengajak Kara jalan. Mereka janjian di mal. Sudah lama mereka tidak jalan-jalan.

Sore itu mal lumayan ramai. Anak-anak muda paling dominan di beberapa outlet. Orangtua dan anak-anak menghabiskan waktu di wahana permainan. Toko-toko membuka diskon akhir pekan. Gila-gilaan.

Setelah berkeliling Kara dan Jessy mengunjungi kafe favorit di food court. Kafe ini menjual aneka minuman dan makanan. Sering menjadi langganan anak muda, karena selain menunya enak, harganya bersahabat di kantong. Kursi-kursi kafe sebagian sudah terisi. Kara dan Jessy duduk paling ujung, jauh dari pintu masuk. Alasannya biar lebih nyaman makan dan tidak terganggu lalu-lalang.

Kara memesan es campur dengan baluran keju. Sementara Jessy memesan green tea. Brownies jadi pelengkap.

"Ngapain lo gak ngajak Lero sekalian tadi," tanya Kara. "Kan lebih seru bertiga."

Jessy menyeruput green tea. "Emang lo mau jadi obat nyamuk?"

"Gak maulah, enak aja," Kara menyela cepat.

"Makanya itu," Jessy mengambil sepotong brownies dan menggigit ujungnya. "Lagian Lero nggak suka muter-muter mal. Di atas dua jam dia udah minta balik."

Bagaimana mungkin Lero tahan di mal, Kara hafal betul karib di depannya ini adalah cewek yang doyan memutari isi mal meski tidak membeli barang. Dulu pernah sekali waktu dia dan Jessy menjajal mal dari pagi sampai sore. Waktu itu Kara sudah menyerah, tapi Jessy urung meninggalkan mal. Jadi jika Lero menolak, itu wajar. Cowok malas menghabiskan waktu tanpa faedah.

Jessy melihat isi piring, kue tersisa tinggal sepotong. "Lo mau nambah brownies gak?"

"Boleh," jawab Kara.

"Bentar ya," Jessy hendak berdiri. "Gue pesan dulu." Jessy beranjak, cewek itu menuju mini bar kafe.

Melewati dua meja, langkah Jessy terhenti.

Maverick [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang