Catatan 19

271 15 17
                                    

[28 September 2007]

Sekian bulan sudah Mave berkutat dengan restoran.

Pekerjaan rasanya makin banyak, apalagi dua menu baru menambah ekstra kerja demi menyanggupi permintaan pengunjung. Belum lagi mengurusi sekian bawahan yang kadang tidak tertib, lalu mengurusi keuangan yang memang harus dimonitor tiap waktu. Untunglah pak Haris selalu sedia membantu.

Namun sore ini bukan hanya pak Haris yang meringankan beban, melainkan Lero.

Karibnya itu jadi asisten dadakan di belakang dapur. Mengurusi bahan makanan, me-list menu paling laris pekan ini, hingga menjadi backing vocal ala kadar sewaktu Mave menghibur pengunjung.

Hari menjelang malam sewaktu mereka santai di rooftop resto.

Ada dua cangkir teh dan sepiring waffle di meja yang memisahkan kursi mereka. Dari rooftop mereka mampu menangkap 70 persen lanskap kota, lalu lintas kendaraan di bawah sana, dan gemerlap lampu yang benderang dari gedung-gedung sekitar.

"Suara lo bagus juga tadi," puji Mave, merasa tertolong di panggung.

"Bagusan elo," Lero merendah. "Itu pertama kali gue di panggung. Diliat orang-orang nervous juga."

"Surprise-nya lo hafal lagu Samsons."

Lero menyesap teh, "Ketularan Kara." Di playlist mobilnya malah lebih banyak lagu Samsons.

Udara lalu bertiup lebih rendah. Bintang-bintang mengintip dari balik awan tipis. Bunyi klakson di jalan ramai sahut-sahutan, sementara lampu-lampu kota tampak lebih semarak dari sebelumnya.

"O iya, jadi kapan lo nembak Kara?" tanya Lero, ingat percakapan mereka di telepon lalu.

"Tapi belum sekarang."

"Kenapa emangnya?"

"Ujian kan bentar lagi. Takutnya ganggu konsentrasi Kara."

Lero mencomot waffle dan mengigit kecil.

"Nanti kalo jadi, gue minta bantuan lo."

"Hahaha," Lero tertawa. "Yakin butuh bantuan?"

"Gagal untuk kedua kali kan gak lucu," Mave ikut mengekeh. Kegagalan kadang membawa ketakutan tersendiri. Cukup bagi Mave gagal setahun lalu. Kali ini adalah kesempatan, lebih-lebih belakangan dia dan Kara hampir melewatkan waktu bersama.

Dan itu jadi modal yang cukup mengutarakan rasa.

Obrolan mereka selesai dua puluh menit berikutnya. Mave mengantar Lero ke bawah. Selepas Lero naik mobil, kendaraan ayah tiba di parkiran. Ayah sempat melirik Lero yang menaikkan kaca mobil.

Ayah mendekati Mave yang masih di pintu restoran. "Anaknya Om Panca kan?"

"Iya Lero."

Ayah merangkul pundak Mave selepas mobil Lero pergi. Mereka masuk ke restoran. Sekian pertanyaan Ayah muncul terkait tetangga lamanya itu. Mave yang sering ke sana, menjelaskan apa yang dia tahu.

"Om Panca baik, kan Mave sering ke sana," jawab Mave. "Lero juga sering ke sini."

"Ayah cuma ngingetin, bisnis itu nomor satu. Jangan keseringan maen."

Memang setelah bangkrut, Ayah lebih berhati-hati soal kerjaan. Apalagi restoran ini—dan beberapa cabang lain, adalah usaha yang baru mereka rintis. Tentu Ayah khawatir, kurang seriusnya Mave akan berdampak.

"Mave bisa ngatur waktu kok."

"Ayah percaya kamu." Ayah lantas menemui Pak Haris di belakang.

Mave sendiri melanjutkan aksi panggung sesi malam. Kali ini dia memilih sekian lagu lawas dari boyband era 90-an, Westlife, Backstreet Boys hingga N sync. Pengunjung yang berumur 40 tahunan merasa terhibur. Total Mave melagukan 10 track.

Maverick [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang