Sudah sehari sejak kami keluar dari markas pemburu itu. Harusnya sudah sampai kalo kami ngga terlalu banyak istirahat. Lagian, kayaknya kami salah arah.
"Kita nyasar nih?" tanya Misha.
"Entahlah," ucapku.
"Mmm, udah bener kan ke Selatan?" tanya Misha lagi.
"Coba kita lihat dari atas."
Aku mengeluarkan kartu summon dan memanggil Arna. Kami berempat menaikinya dan langsung terbang.
"Kenapa ngga keluarin naganya dari tadi saja?" tanya Ryuu.
"Jaraknya ngga terlalu jauh, aku ngga mau ngabisin tenagaku cuma untuk mensummon Arna untuk. Ini juga terpaksa karna kita tersesat," omelku.
Saat kami di udara, kami melihat sebuah desa. Mungkin itu daerah yang dikatakan Orma. Kami langsung menukik turun dan berhenti tak jauh dari desa itu. Arna langsung masuk kembali ke dalam kartu dan kami berjalan menuju desa itu. Akhirnya gerbang desa itu terlihat. Tapi entahlah, baru melihat gerbangnya aja, hawa panas sudah sangat menyengat.
"Panas banget di sini," ucap Elfa.
"Mmm, sepertinya tak ada sungai di sini," ucap Ryuu.
"Ada, lihat itu," ucap Misha sambil menunjuk sebuah sungai yang kering.
"Desa ini dilanda kekeringan yah?" tanyaku.
"Sepertinya begitu," jawab Misha.
Kami berempat berjalan masuk dan melihat semua aktifitas normal penduduk di sini. Sampai akhirnya semua pandangan tertuju pada kami.
"Pendatang." Orang-orang yang sedang mengobrol itu sepertinya tak senang dengan kedatangan kami.
"Apa yang akan mereka lakukan disini?"
"Menyebalkan,"
Sepertinya mereka memang tak menyukai pendatang. Mungkin seharusnya kami tak perlu masuk ke desa ini. Kami pun melihat sebuah ladang tandus. Ada beberapa tanaman di sana, tanaman kering. Kami mulai bertanya pada seseorang yang lewat bersimpangan dengan kami.
"Permisi, tuan. Boleh bertanya?" tanyaku.
"Lebih baik kalian pergi," ucap tuan itu. Kami kebingungan.
"Kenapa tuan? Apa desa ini tak menerima pendatang?" tanyaku.
"Iya, jika hanya lewat, silahkan. Tapi jangan berfikir untuk menetap." Orang itu pergi. Kami benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi di sini.
"Bagaimana jika aku turunkan hujan di sini?" ucap Misha.
"Kau bisa?" tanya Ryuu.
"Bukan perkara sulit."
Kami berjalan menuju ladang tandus itu dan Misha mulai merapal mantra.
"Berputar bagaikan kincir, menetes bagai embun, sebuah tangisan dan tawa, turunlah dan basahi dataran ini."
Tiba-tiba sebuah awan hitam mengumpul tepat di atas desa ini dan dalam sekejap, hujan turun dengan deras. Kami berempat langsung berlari berteduh.
"Kau hebat Sha," pujiku.
"Kau benar-benar penyihir elementer yah?" tanya Ryuu.
"Sudah kubilangkan sebelumnya."
"Kak Misha hebat," puji Elfa.
Tiba-tiba semua warga berbondong mengepung kami. Kami sedikit khawatir dengan para warga ini.
"Mereka penyihir," ucap salah seorang warga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penyihir
Fantasy'Penyihir adalah musuh seluruh kaum.' Setuju? Tentu tidak. Dua penyihir ini berusaha mematahkan ungkapan itu.