Kami masih berjalan yang kayaknya ke arah Selatan. Entahlah. Kami masih tak melihat apapun.
"Kita udah sampe mana sih?" tanya Misha.
"Entahlah," ucapku.
"Hei lihat, ada desa." Elfa menunjuk kearah yang dia maksud.
Benar saja, ada sebuah desa di sana. Kelihatannya desa yang damai dan tenang. Kami memasuki desa itu dan melihat-lihat sekeliling. Hal pertama yang kami lihat adalah pasar. Ya, pasar di mana-mana.
"Hei lihat, buah-buahannya kelihatan segar," ucap Elfa.
"Silahkan non, ini buah segar yang dipetik langsung dari kebun," ucap nenek penjual buah.
Kami memilih buah untuk mengisi perut saja. Tapi saat sedang asyiknya memilih buah, tiba-tiba saja ada beberapa orang yang menyerobot.
"Hei nenek tua, bayar pajak untuk Minggu ini." Pria itu meminta pajak dengan cara memaksa.
"Iya, ini." Nenek penjual buah ini memberikan kira-kira 1000 han pada pria itu.
"Bagus," pria itu langsung pergi.
Saat kulihat sekitar, ternyata bukan cuma pria tadi. Tapi ada beberapa orang lagi yang menarik pajak di penjual-penjual lain.
"Mereka siapa nek?" tanyaku.
"Mereka penarik pajak di desa ini."
"Apa mereka menarik pajak setiap Minggu?"
"Begitulah."
Aku pun membeli dua kilo apel dan itu menghabiskan 300 han. Mungkin ini daerah yang dikatakan Orma. Benar-benar malang mereka.
"Udah mulai gelap nih, kita mau menginap disini?" tanya Ryuu.
"Ya mendingan gitu. Ayo cari penginapan," ucapku.
Kami pun mencari penginapan dan saat kami menemukannya, kami langsung memesan kamar.
"Pesan 2 kamar," ucapku.
"Baik, biayanya 750 han per malam."
"Bukankah itu terlalu mahal?" bisik Ryuu padaku.
"Ngga apa-apalah. Toh uangmu masih banyak."
"Sial."
Malam ini pun kami menginap di sini. Aku satu kamar dengan Misha dan Elfa, sedangkan Ryuu sendirian. Esok paginya, kami masih di desa ini untuk memastikan bahwa para bandit itu tak merugikan para warga.
"Tapi pajak 1000 per Minggu itu agak kejam sih," ucap Misha.
"Iya, berarti dalam sebulan 4000 han dong." Sahut Elfa.
"Ya mau gimana lagi? Sepertinya para warga juga sudah terbiasa dengan keadaan ini," ucap Ryuu.
Kami masih berjalan menyusuri desa ini. Tiba-tiba Misha dan Elfa bilang mau cari buku-buku sihir. Jadi sekarang tinggal aku dan Ryuu. Kami berdua berjalan tanpa sepatah katapun yang terucap. Sampai akhirnya, aku bertabrak bahu dengan seorang gadis seusiaku.
"Eh maaf," ucapku.
"Aku juga yang salah," ucap gadis berambut sebahu itu.
Aku menatapnya, dia bukan penyihir tapi aku merasakan sebuah aura mengerikan dalam dirinya. Dia juga membawa tongkat berwarna merah dengan motif seperti kulit naga. Dia seorang petarung.
"Ayo Dinda, cepat!" panggil seorang pria yang membawa pedang di punggungnya.
"Iya sebentar," ucap gadis tadi. Namanya Dinda, "aku permisi dulu yah," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penyihir
Fantasy'Penyihir adalah musuh seluruh kaum.' Setuju? Tentu tidak. Dua penyihir ini berusaha mematahkan ungkapan itu.