CHAPTER 18.2
Munich, masih beberapa tahun yang lalu...
Manuel menghempaskan tubuhnya dengan kasar di ranjang. Sungguh, ia merasa ketakutan dan jijik akan dirinya sendiri. Bagiamana jika ayahnya tahu bahwa diirnya adalah penyuka sesama jenis, seperti yang selama ini ia lakukan. Lelaki berambut pirang itu meremat rambutnya kasar. Ia segera mengambil telepon genggamnya dan menekan angka satu. Tak berselang lama panggilan dijawab.
"Yes...Babe..."
Manuel mendengar suara bising dari seberang. "Kau sibuk?"
"Tidak terlalu. Ada apa? Ada masalah?"
Manuel menghembuskan nafas kasar sebelum menjawab. "I'm scared..."
Manuel mendengar suara pintu terbuka dan tertutup di seberang sana. Perlahan suara bising teredam.
"Ada apa? Kau baik-baik saja bukan?" Manuel menggeleng pelan tanpa sadar.
"Dia tahu tentang kita..." Jawaban Manuel membuat Isco terdiam di seberang. Isco tahu siapa 'dia' yang dimaksud Manuel. "...Dia tahu tentang penyimpanganku...aku..."
"Hei...hei...hei... calm down, Honey! Kau sudah berada di rumah sekarang? Apa aku perlu menjemputmu dan menginap di apartemenku?"
Manuel memejamkan matanya sejenak sebelum menjawab. "Ya, aku sudah ada di rumah. Tapi tidak perlu, aku baik-baik saja. Mungkin aku akan menghubungi Robert atau Jimmy. Lagipula, perempuan ular itu sedang berada di rumah, aku tidak mau menambah runyam masalah ini."
"Sayang, justru aku takut kalau kau hanya berdua saja dengan perempuan itu." Isco menjawab dengan tegas.
"Aku tidak apa, percayalah. Aku baik-baik saja. Apakah kau cemburu?" Manuel hanya mencoba bergurau, agar sedikit mengurangi kecemasan di dalam hatinya.
"Ya. Aku cemburu, dan aku khawatir padamu. Aku pernah melihat perempuan itu begitu bernafsu saat memandangmu, seolah kau adalah hidangan paling menggiurkan.." Jawaban Isco yang disertai dengan dengusan tak suka membuat Manuel terdiam. Ia mengulas senyum tipis, hanya bersama Iscolah ia merasa dicintai. Hatinya menghangat, hatinya nyaman.
"Percayalah padaku! Aku akan baik-baik saja! Kau percaya padaku, bukan?"
"Baiklah! Aku percaya padamu, tapi please! Jika ada sesuatu kau harus menghubungiku."
Manuel tersenyum. "Pasti! Apakah kau masih di basecamp?"
"Ya...aku masih di basecamp. Dua hari lagi akan ada pertandingan kalau kau lupa. Bukankah kau berjanji akan datang?" Manuel tertawa pelan. "Ya. Aku akan datang, menyaksikan kekasihku berlaga."
"Sampai jumpa dua hari lagi. Aku mencintaimu!"
Manuel tersenyum tanpa membalas ungkapan itu, entahlah ia selalu canggung saat membalas ungkapan cinta Isco. Lalu menutup sambungan telepon. Ia meletakkan telepon genggamnya di nakas, dan menyambar minuman di atas nakas. Ia meminumnya hingga setengah.
Manuel menikmati keheningan seperti ini, sejak kecil ia hanya memiliki Robert. Lalu ketika beranjak remaja, ia dikenalkan dengan Jimmy, anak yatim piatu yang akhirnya menjadi sahabatnya. Lalu ia bertemu Isco, lelaki yang begitu memujanya, mencintainya.
Manuel kembali memikirkan Robert. Lelaki itu sudah ia anggap sebagai ayahnya. Ia tersenyum miris, padahal ada lelaki yang benar-benar ia harus panggil ayah, namun lelaki itu seolah tidak ingin berinteraksi dengannya. Bahkan memandangnyapun seakan tidak sudi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snowfall in Munich (ENDING)
General FictionHanya satu yang ada di benak Christa, jika selama ia kuliah di Jerman dan ternyata memiliki kekasih, ia akan berusaha menjaga keperawanannya. Bagaimanapun juga, pola pergaulan Eropa berbeda dengan Indonesia. Hingga suatu malam bersalju ia bertemu de...