CHAPTER 23.2

7.7K 317 28
                                    

CHAPTER 23.2
Robert mengusap sudut matanya melihat Manuel dan Zie, ibunya, berpelukan dengan penuh keharuan. Meski dalam hati paruh baya itu sedikit heran, bagaimana Manuel dapat mengenali wajah ibunya, sedangkan sejak lahir Manuel sudah terpisah dengan ibunya. Biarlah nanti ia bertanya pada Manuel atau Zie. Perlahan, Robert membalikkan tubuhnya dan keluar dari kamar perawatan, memberikan waktu berdua untuk ibu dan anak yang baru bertemu itu.
Manuel masih terisak di pelukan ibunya, selama ia hidup baru kali ini ia merasakan hangatnya dekapan seorang ibu. Bukankah itu terdengar indah? Perempuan yang selama ini ia pikir begitu jahat, namun di dalam dekapannya, Manuel merasa seperti anak kecil dalam buaian. Ibunya melepaskan pelukannya, namun masih menangkup wajah putranya, putra yang terpisah sejak ia lahirkan. Penyesalan sungguh menggerogoti hati Zie.
“Maaf...maafkan Ibu yang meninggalkanmu.” Manuel menatap ibunya dengan wajah membasah. “I...ibu...” Zie semakin terisak hebat, Ya Tuhan, bagaimana kehidupan putranya selama ini? Mengapa putranya begitu rapuh dan hancur seperti ini?
Dengan sedikit mengerutkan kening, ibunya bertanya serak. “Bagaimana kau bisa mengenali wajahku dan mengetahui bahwa aku ibumu?” Manuel tersenyum di tengah tangisnya, tangan besarnya juga mengusap pipi keriput ibunya. “Selama ini memang aku mencoba membenci Ibu, tapi...tapi diam-diam aku mencari tahu tentang Ibu.”
Keterkejutan tampak jelas di wajah Zie, lalu dengan penuh haru Zie mencium dahi putranya. “Maafkan Ibu...maaf, Nak.”
Manuel tersenyum miris. “Bahkan aku tahu, jika Robert dan Jimmy diam-diam mencari tahu tentang keberadaan Ibu, tapi aku berpura-pura tidak tahu. Aku tahu Ibu selama ini berada di Polandia, tempat lahir ayah. Di rumah masa kecil ayah. Dan, tempat di mana aku berasal.”
Lagi-lagi keterkejutan memenuhi wajah tuanya. Lalu mengangguk kuat, air mata semakin deras mngalir. Zie tidak pernah menyangka putranya mengetahui keberadaan dirinya. “Tapi maaf, aku tidak mengunjungi atau...entahlah, aku selalu didoktrin kalau...kalau aku harus membenci Ibu.”
Zie menggeleng pelan lalu kembali memberi kecupan di dahi Manuel, sebelum kembali memeluk Manuel. Ia merasa menyesal, mengapa ia dulu harus menuruti keinginan Peter untuk meninggalkan putranya hanya karena tidak ingin melihat suaminya menikah dengan perempuan lain. Lihatlah sekarang, buntut dari semua itu menjadikan Manuel menderita. Manuellah yang menjadi korbannya.
Dengan penuh keyakinan ibunya berkata, “Jika kau sudah pulih, maukah kita mengawali semua dari awal? Membangun kembali keluarga kecil kita?”
Manuel mengerutkan keningnya, bingung. Zie tersenyum dan kembali mengusap sayang wajah putranya. “Kita kembali ke Polandia, Sayang. Tempat di mana seharusnya kita berada.” Dan Manuel mematung mendengar kalimat ibunya.
***
Christian mengusap peluh adiknya, sudah kesekian kalinya Christa memuntahkan isi perutnya. Pramugari yang bertugas tampak khawatir. Saat ini Christa dan Christian tengah berada di perjalanan udara menuju Jerman.
Empat bulan yang lalu ia di sarankan dokter agar menunda penerbangan demi kesehatan janin yang dikandung. Kini usia kandungan Christa memasuki awal bulan kelima, tubuhnya masih mungil, jika tidak diperhatikan dengan seksama, tidak akan mengira jika Christa tengah berbadan dua. Apalagi sekarang ia mengenakkan pakaian dengan dua nomor lebih besar.
“Kamu kuat kembali ke kursi?” Christa memejamkan matanya berusaha mengenyahkan rasa mual hebat yang menyerang. Lalu mengangguk pelan.
Pramugari tampak mengangsurkan tisu. “Kami akan menyiapkan minuman hangat, perjalanan kita masih tersisa sekitar lima jam. Kami harap, Ibu bertahan sementara waktu.” Christa tersenyum lemah, Christian hanya menganggukkan kepalanya.
Christian dengan telaten memapah Christa untuk kembali ke kursi mereka. Lagi-lagi Christa berterima kasih kepada kakaknya yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar penerbangan di kelas bisnis. Christa menatap kakaknya yang masih setia menyelimuti kakinya. Tangan Christa terangkat untuk mengelus bahu kakaknya. “Terima kasih, Mas.”
Christian langsung mendongak, dan lelaki berkulit coklat itu tersenyum. “Apapun itu untuk adikku dan...calon keponakanku.” Ucapan itu disertai dengan usapan lembut di perut Christa yang tampak mungil meski mulai mencuat.
Mata Christa tampak berkilauan karena terharu mendengar ucapakan kakaknya. Empat bulan lalu, kakaknya meminta maaf pada dirinya karena menyembunyikan kejadian sebenarnya tentang Manuel. Kakaknya berjanji akan membantu Christa untuk menemukan kebahagiaannya.
Christa bukannya tidak memiliki kekhawatiran, apalagi selama empat bulan ini tidak ada kabar sama sekali dari Manuel. Bahkan Elizabeth dan Marco gagal menemukan informasi tentang Manuel. Manuel seakan hilang ditelan bumi. Dalam hati ia was-was, apakah dengan saat ini menyusul Manuel merupakan tindakan yang benar? Bagaimana jika sampai Jerman hanya kekecewaan dan sakit hati yang akan di dapatkan Christa? Dan, bagaimana jika sampai Jerman, Manuel akan menolak dirinya dan buah hatinya?
Secara spontan, Christa mengusap pelan perutnya. Tidak ada dalam benak Christa jika ia harus mengandung secepat ini, terlebih ia hamil di luar pernikahan. Christa mati-matian menolak bahwa anaknya anak haram. Demi Tuhan! Anaknya adalah berkat dari Tuhan, yang ia lakukan hanya terus memohon ampun dan bersyukur atas berkat dari Tuhan. Sekuat tenaga, Christa akan menjaga dan merawat anaknya. Setidaknya ia masih memiki Tuhan, orang tua, dan kakaknya.
“Mikirin apa?” Christa menoleh saat mendnegar suara kakaknya, lalu menggeleng pelan sebelum memejamkan matanya. Biarlah Christa memendam kekhawatiran ini sendiri.
Tak berselang lama ia kembali membuka mata, dan menatap kakaknya yang sudah memejamkan matanya. “Mbak Windy apa kabarnya, Mas?” Christian yang sudah duduk nyaman di kursi samping Christa langsung membuka mata dan menatap Christa dengan alis terangkat. “Ada apa memangnya dengan Windy?”
Christa tersenyum dengan wajah letihnya. “Sudah waktunya Mas membuka hati untuk Mbak Windy. Christa yakin, di hati Mas nama Mbak Alisha perlahan sudah mulai memudar.”
Christian tertawa hambar. “Mas baru tahu kalau ibu hamil itu bisa jadi lebih cerewet dan punya bakat cenayang,” Christian mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut adiknya.
“Mas belum mikir buat punya pasangan, Dek. Dan satu lagi, Windy itu teman Mas. Kami nggak mungkin jadi pasangan.”
Christa memajukan bibirnya sekilas. “Mas nggak inget ya, ada istilah temen jadi demen? Christa berdoa supaya Mas berjodoh dengan Mbak Windy. Ketika Tuhan sudah menggerakkan tangan-Nya, tiada yang sanggup menolak kuasa-Nya.” Dan Christian hanya tertawa mendengar kalimat adiknya.
***

Snowfall in Munich (ENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang