CHAPTER 21.1
Christa menghembuskan nafas lelah, entah mengapa sejak kejadian semalam, ia merasa kosong. Fisiknya memang sakit, namun hatinya jauh lebih sakit. Christa mengamati pantulan dirinya sendiri, satu hari lagi ia akan bertolak untuk kembali ke tanah kelahirannya. Sungguh miris, batin Christa. Ia miris karena seharusnya ia pulang dengan ilmu dan kebanggaan akan pendidikan yang ditempuh, namun hanya kehinaan yang ia peroleh. Christa menggelengkan kepalanya, ia memang kecewa namun ia berusaha untuk tidak menganggap dirinya hina.
"Udah siap, Dek?" Christa menoleh dan tersenyum tipis melihat kakaknya akan mengantar dirinya untuk menandatangi berkas-berkas berhenti mengikuti perkuliahan di kampusnya.
Christa mengangguk. "Udah kok, Mas. Mas udah sarapan?"
Kakaknya memang keluar sejak tadi, Christa berpikir mungkin kakaknya keluar untuk mencari sarapan. "Belum. Gimana kalau kita cari sarapan di kedai dua blok dari sini?" Christa teringat pasangan asal Indonesia, Danny dan Dora. Lumayan lama ia tak kembali ke sana. Lagipula besok sudah kembali ke Indonesia, sekalian pamit, pikirnya.
Christa menyetujui dan berjalan bersama kakaknya menuju tempat itu. Di tengah perjalanan Christa mencoba membuka percakapan. Entah perasaan Christa saja, kakaknya agak menjaga jarak darinya. Padahal biasanya jika berjalan berdua seperti ini kakaknya akan memeluk bahunya atau membiarkan tangan mereka bergandengan. Kebiasaan sejak kecil yang tidak pernah terlupakan.
"Mas..." Christa memanggil kakaknya. Christian menoleh. "Kenapa?"
Christa menghembuskan nafasnya sebelum melanjutkan pertanyaan pada kakaknya. "Christa Cuma bingung, Mas. Gimana nanti Mama sama Papa kalau tanya tentang Christa."
"Tanya apa?" Christa menatap kakaknya takut-takut. "Bukannya Mas udah bilang sama Papa Mama kalau Christa..."
Christian menyela dengan cepat. "Ya nggaklah, Dek. Maksud Mas belum, Mas juga bingung gimana mau memulai ngomong sama orangtua kita."
Mata Christa memanas. "Maaf ya, Mas. Gara-gara Christa, Mas jadi punya beban."
Christian menghentikan langkahnya dan mneoleh pada adiknya. Meraih bahu Christa agar menghadapnya, sedikit menekan bahu mungil Christa, Christian berkata dengan sungguh-sunguh. "Demi Tuhan, Dek! Nggak ada sedikitpun terbesit dipikiran Mas anggap kamu sebagai beban. Mas sayang kamu, Mas jagain kamu, tapi Mas udah merasa gagal jagain kamu. Kamu bagian tanggung jawab Mas. Ngerti!"
Christa kembali menangis. Christian meraihnya dan mendekap Christa dengan erat. Mata Christian berkaca-kaca, ia begitu sedih dan kecewa pada dirinya sendiri yang gagal menjaga adiknya. Dalam hati, Christian merapalkan permohonan maaf pada adiknya.
Christian semakin mempererat pelukannya saat adiknya kembali terisak hebat dan mengucapkan permohonan maaf padanya. Christian berdoa dalam hati, semoga ia dapat sedikit mengurangi kesakitan adiknya. Kesedihan Christa mungkin sudah bertumpuk, dan salah satu penyebabnya adalah dirinya.
***
Christian dan Marco mengamati rumah megah di hadapannya. Petugas keamanan yang mempersilakan masuk telah meninggalkan mereka. Setelah menguatkan hati, Christian menekan bel. Marco hanya diam, ekpresinya sulit ditebak.
Tak berselang lama, terbukalah pintu itu. Christian mengerjap saat lelaki paruh baya yang membukanya.
"Apakah benar ini rumah Manuel, Manuel Lewandowski?" Lelaki paruh baya itu menatap waspada pada Christan dan Marco. "Iya, benar. Ini rumah Manuel. Ada keperluan apa? Saat ini Manuel tidak apat ditemui."
KAMU SEDANG MEMBACA
Snowfall in Munich (ENDING)
General FictionHanya satu yang ada di benak Christa, jika selama ia kuliah di Jerman dan ternyata memiliki kekasih, ia akan berusaha menjaga keperawanannya. Bagaimanapun juga, pola pergaulan Eropa berbeda dengan Indonesia. Hingga suatu malam bersalju ia bertemu de...