Setelah sampai di depan rumah, Lisa segera turun dari mobil dan pergi meninggalkan mobil tanpa sang ayah sempat mencegahnya. Ia tidak mengarahkan langkahnya menuju rumah, melainkan ke rumah sahabatnya.
Tn. Manoban menutup mata dan menghela napas panjang melihat kelakuan anaknya. Terbersit sebuah penyesalan di benaknya karena sudah membentak anak satu-satunya. Ia paham betapa keras kepala anaknya itu, karena Lisa adalah cerminan dirinya sendiri.
"Sajangnim, apa kita harus mengejarnya?" tanya Matthew yang duduk di kursi kemudi mobil pada Tn. Manoban.
"Tak perlu, aku tahu dia akan pergi kemana" Tn. Manoban menjawabnya dengan tenang.
"Bagaimana perkembangan kasus kematian Seokjin, apakah sudah ada titik terang?" Tn. Manoban kembali membuka suara.
"Belum, Sajangnim. Hasil penyelidikan polisi sampai saat ini belum memuaskan kita, bahkan mereka berusaha untuk menutup kasus ini. Detektif dan orang-orang suruhan Anda juga sedang berusaha mengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap kasus ini dan membawanya ke pengadilan" Tn. Manoban geram mendengar penjelasan Matthew.
"Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyelidik sebuah kasus kecelakaan seperti ini, Matthew! Aku ragu, polisi ikut terlibat dalam menutupi sebuah kebenaran" Tn. Manoban menggertakkan giginya.
"Tolong selesaikan kasus ini hingga tuntas secepatnya. Bila perlu, pecat saja mereka yang tak dapat bekerja dengan baik. Aku tak ingin nyawa Seokjin melayang dengan sia-sia. Aku akan menghukum mereka semua yang terlibat dengan tanganku sendiri" Matthew mengangguk tanda paham.
"Nde algeseumnida, Sajangnim"
"Satu lagi, tolong jaga Lisa baik-baik dan awasi dia untukku. Jangan biarkan dia mengetahui tentang hal ini. Aku tidak ingin ia terlibat dalam bahaya, karena dia adalah harta paling berhaga satu-satunya yang tersisa untukku. Kau tahu kan, dia juga sangat keras kepala, apalagi menyangkut tentang orang disayanginya. Mengerti?"
"Nde, Sajangnim" Matthew kembali menganggukan kepala.
"Seokjin yang malang" Tn. Manoban kembali menghela napas panjang.
Di tempat lain, Jennie merasa khawatir dengan sahabatnya yang mengirim sebuah pesan secara tiba-tiba. Bukannya apa, Lisa sendiri sudah terbiasa mengirim pesan rindu seperti itu padanya, tapi Jennie merasa ada yang tak biasa dari pesan tersebut. Terlebih lagi baru saja kemarin malam mereka bertemu dan pergi bersama. Ia berfirasat bahwa kini sahabatnya itu tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Tak berselang lama, seseorang datang dan mengetuk pintu rumahnya. Jennie segera berjalan menuju pintu dan membukanya. Ketika pintu terbuka, Jennie dikagetkan oleh sosok tamunya, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
Tanpa motor atau kendaraan apapun lainnya, Lisa datang ke rumah Jennie hanya dengan berjalan kaki. Tak ada sinar hangat ataupun senyum lebar yang biasa menghiasi wajahnya. Bahkan ia datang dengan wajah kusut, dilengkapi dengan sembab pada kedua matanya. Lisa pun menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Jennie. Jennie membalas pelukan itu dan mengusap punggung Lisa pelan.
Jennie sedih melihat keadaan sahabatnya. Walaupun ia tak tahu apa yang terjadi, Jennie ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh Lisa. Ia juga terluka bila melihat sahabatnya itu terluka. Jennie segera mengajak Lisa menuju kamar guna menenangkannya.
"Tunggu sebentar, aku akan segera kembali" ucap Jennie yang dijawab oleh anggukan pelan dari Lisa.
Jennie kembali ke kamar dengan segelas susu cokelat hangat di tangan dan memberikannya pada Lisa. Susu cokelat adalah pertolongan pertama untuk menenangkan Lisa bila ia sedang marah ataupun sedih, dan Jennie tahu betul tentang itu.