Seorang gadis remaja mengulurkan tangan pada sesosok makhluk mungil. Tangis nyaring terdengar seolah memohon belas kasihan. Dini hari di rumah sakit bersalin itu telah lahir satu nyawa ke dunia. Bukan kehendak manusia tapi suratan takdir-Nya. Si gadis masih mematung. Tak mengerti apa yang harus dilakukannya.
"Gendong dia, Siwi! Sebentar saja," pinta seorang wanita dewasa. Ia sedang sibuk menenangkan putrinya yang juga sedang bercucuran air mata.
"Ehm, aku?" Siwi Anjani mendekati bayi itu takut-takut. Tadi ada perawat yang membantu tapi sedang pergi menyiapkan sebotol susu formula.
Siwi menghela napas panjang. Bayi ini berhak mendapat ASI, batinnya kesal. Ia beranikan diri membopong tubuh kecil yang dibedung rapat.
"Emangnya bisa?" tanya cowok yang sedari tadi memperhatikan di pojokan. Dito Penggalih, teman Siwi sejak ingusan.
"Ya, terpaksa. Gimana lagi?" Siwi mendekap bayi yang mulai tenang.
"Pasti luar biasa rasanya jadi ayah. Tapi, ayahnya ke mana?" Dito membelai pipi halus si orok.
Siwi mengangkat bahu. "Karena itulah ibunya nangis terus. Ngapain berharap dia datang? Yang harus dipikirkan anaknya, bukan lelaki berandalan itu!"
Putri Maheswari, perempuan yang melahirkan si jabang bayi. Ia histeris mengetahui kenyataan bahwa ayah dari anaknya tidak datang saat persalinan. Padahal, lelakinya sudah berjanji. Sang ibu terus menenangkan dan membujuk agar kakak Siwi itu mau menyentuh bayinya.
"Lihat, dia laki-laki. Kita kasih nama Pratama. Panggilannya Tama," ucap lembut wanita yang tidak dihiraukan anaknya. Putri sesenggukan menutup wajah dengan dua telapak tangan.
"Lebih cocok kamu jadi ibunya," canda Dito di samping Siwi.
"Woy, aku baru empat belas tahun!"
"Ah, cuma beda tiga tahun sama Mbak Putri. Berarti, tiga tahun lagi nyusul."
"Males, ah!" bantah Siwi.
"Aku deh yang jadi bapaknya!"
"Idih! Kamu sih belum pantes bikin ginian."
Dito menahan tawa. "Belum tau, ya?"
"Eh, apaan nih anget?" Siwi meraba pantat bayi yang kembali menangis keras.
"Hhmm, pipis tuh dia!" Dito kabur.
"Ibu, ini gimana?" Gadis itu panik. Untungnya perawat telah datang. Ia meletakkan sebotol susu di meja kamar. Lalu, segera mengambil alih bayi—membantu Siwi yang kebasahan oleh ompol.
Sejak hari ini, mulailah keluarga Siwi disibukkan dengan kehadiran Pratama. Cucu pertama dari Pertiwi. Anak yang terlahir dari remaja putri berusia tujuhbelas tahun. Entah disebut musibah atau berkah?
Pertiwi menatap sendu pada kedua anak perempuannya. Ia selalu kerepotan oleh tingkah Putri, anak pertama. Tetapi, juga selalu tertolong oleh Siwi, anak kedua. Tuhan memang memberikan masalah sepaket dengan solusinya.
"Udah beres, ya?" Dito kembali mendekati Siwi, "Ih, bau pesing!"
"Ya, iyalah. Mana ada air pipis bau wangi?" protes Siwi.
"Dito, makasih ya bantuannya. Kamu nggak dicariin orang tua?" Pertiwi menghampiri sahabat anaknya.
"Saya tadi udah telepon Mama, kok. Bu Tiwi tenang aja."
"Tadi cepet banget sampai rumah? Lagi di mana?" selidik Siwi.
"Di tempat biasa. Nongkrong."
"Masih balapan liar?"
"Nggak. Belum ikut lagi sih."
"Jangan ikut gituan lagi!"
"Kan hobi. Suka-suka dong."
"Udah, lebih baik kalian pulang. Siap-siap berangkat sekolah. Biar Ibu jagain Mbak Putri di sini. Sekali lagi, makasih ya, Dito udah bantuin cari taksi semalam." Bu Tiwi tersenyum walaupun parasnya terlihat lelah.
Siwi pamit pulang berboncengan sepeda motor dengan Dito. Mereka tidak boleh meninggalkan kewajiban sebagai pelajar SMP. Semalaman terjaga untuk menemani proses persalinan kakaknya, Siwi cukup mengantuk. Tapi, udara segar pagi ini membuat matanya terbuka. Pertanyaan memenuhi benaknya.
Bagaimana bisa lelaki yang sudah bergelar 'ayah' begitu tega kepada kami? Ayahku, juga ayah Pratama. Mereka tidak menampakkan batang hidung sama sekali demi menyambut anak dan cucu terlahir ke dunia. Keterlaluan!
"Udah sampai nih! Lagi ngantuk apa ngelamun tuh?" suara Dito memecah kesunyian.
"Ehm, Dito. Kenapa laki-laki jahat banget, ya?"
"Astaga, ini anak! Udah dibantuin, dianterin pulang, masih dibilang jahat."
"Bukan kamu. Maksudku, kebanyakan lelaki. Contohnya ayahku dan Mas Agung, ayahnya Tama."
"Mungkin mereka punya alasan untuk melakukannya. Yang jelas, aku juga laki-laki tapi nggak jahat."
"Emangnya, beneran laki?"
"Iyalah! Perlu bukti? Ayo!"
"Ayo, apa? Pulang sana, mandi!" Siwi turun dari boncengan motor dan berlari masuk ke rumah.
"Belum tau kejantananku? Siwi, Siwi. Selalu aja ngeremehin Dito Penggalih. Lihat aja nanti!" Cowok itu tersenyum sinis lalu melajukan motornya.
"Aku benci laki-laki!" desis Siwi dari balik pintu rumah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pramusiwi (Slow Update)
Teen FictionSiwi, gadis remaja yang membenci laki-laki. Saat masih SMP, ia sudah harus menggendong seorang bayi. Ibu dan kakak perempuannya pun menjadi korban yang harus ia lindungi. Dito, teman Siwi sejak kecil adalah pengecualian. Cowok itu yang selalu ada m...