10. Bayangan Ayah

151 24 39
                                    

Beberapa hari terakhir, Putri Maheswari makin sering melakukan perawatan tubuh. Setelah Tama sembuh, ia jadi bebas mengerjakan hobinya yang menurut Siwi sangat tidak berfaedah. Ternyata ada alasannya. Putri mendapat kabar bahwa suaminya, Agung Sanjaya akan pulang ke kota kecil ini. Selama setahun merantau, lelaki itu belum pernah bertemu dengan buah hatinya.

Sore sepulang sekolah, Siwi mendapati seorang laki-laki asing sedang bertamu di rumahnya. Dengan percaya diri, ia menyambut di depan pintu. Siwi memperhatikan wajah yang amat mirip dengan keponakannya. Barulah gadis itu ingat. Agung, kakak iparnya yang berusia dua puluh tahun. Memang pertemuan Siwi dengannya dapat dihitung dengan jari.

Siwi masuk rumah tanpa mengucap salam ataupun tersenyum. Suasana hatinya kurang baik akibat Miranti masih marah di sekolah. Teman sebangkunya mendiamkan hanya karena ia mengatakan kejujuran tentang Dito kemarin.

"Sore, Siwi. Udah gede ya sekarang? Senyum dong biar makin cantik!" tangan Agung mencolek dagu Siwi yang baru datang.

"Apaan sih?" Dengan gerakan cepat Siwi mencengkeram tangan lelaki kurus itu dan memelintirnya ke belakang.

"Aw! Aduh, aduh!" teriak Agung spontan.

"Ada apa?" Putri bergegas keluar dari dapur. Ia membawakan secangkir kopi untuk Agung.

"Maaf!" Siwi berlari memasuki kamar.

"Ng-nggak apa-apa. Cuma kejepit pintu pas bukain tadi." Agung meringis sambil memijat tangannya yang diserang mendadak oleh sang adik ipar.

"Oh. Hati-hati dong! Ini kopinya, Sayang." Putri mengajak suaminya duduk di sofa ruang tamu. Mereka pun berbincang seperti orang kasmaran.

***

Malam itu sungguh bahagia untuk keluarga kecil Putri, Agung, dan Tama. Mereka bisa berkumpul mengobati kerinduan. Agung membelikan bermacam-macam makanan yang dinikmati bersama, termasuk Siwi dan Pertiwi. Sebelumnya, kiriman uang dari Agung tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Mungkin, ia menebus semua hari ini. Lelaki itu menyerahkan jutaan rupiah sebagai nafkah kepada istri dan anaknya.

Siwi melirik ke wajah Agung dan Tama yang sangat mirip. Seperti halnya Putri yang serupa dengan Haryadi, ayahnya. Seandainya laki-laki dapat mendampingi buah cintanya tanpa perlu pergi, pasti semua anak merasa bahagia. Sayangnya, sebagian dari mereka selalu pergi dari rumah. Kalaupun tubuhnya masih di rumah, justru hatinya yang meninggalkan orang-orang tercinta.

Apakah lelaki dan perempuan begitu mudah dipisahkan oleh keadaan? pikir Siwi. Apalagi, bila lelaki itu telah bergelar ayah yang memiliki anak-anak perempuan. Seorang ayah merupakan cinta pertama bagi anak perempuannya. Sekali saja menyakiti, luka membekas selamanya di hati.

Tanpa sadar, mata Agung mengikuti arah pandangan Siwi. Detik itu juga, cewek tomboy segera bangkit dari kursinya dan masuk kamar. Ia mengunci pintu, lalu menenggelamkan diri di balik buku pelajaran.

"Dasar laki-laki! Mata, mulut, tangan, semua nggak bisa diatur! Cepetan besok deh, biar dia keluar dari rumah ini," gumamnya kesal.

***

SMA Candradimuka sudah penuh dengan siswa pagi ini. Siwi masuk kelas dan duduk di bangkunya. Miranti sudah datang. Ia masih saja mematung selama jam pelajaran. Siwi sangat heran. Bagaimana bisa ia betah tidak berkata sepatah kata pun pada temannya?

Setelah bel istirahat berbunyi, Miranti bergegas keluar dari kelas.

"Tunggu, Ran!" Siwi mencegahnya.

"Apa?" Ranti begitu menakutkan saat marah.

"Maaf, ya. Sebenarnya, aku nggak ngerti apa salahku. Tapi, harusnya kamu ngomong."

Pramusiwi (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang