Hari masih terlalu pagi ketika Siwi memeluk keponakannya. Tangisan Pratama belum reda. Putri beradu mulut dengan Pertiwi. Rumah sederhana itu sangat gaduh. Untung saja para pegawai day care segera datang dan melerai percekcokan dalam keluarga tersebut.
"Ada apa ini? Kalian tenang, ya. Nyebut nama Tuhan!" Bu Ratih, juru masak tergopoh meletakkan belanjaan dan merangkul Pertiwi.
Tidak lama kemudian, Bu Pramitha tiba. Ia mendekap Putri yang histeris.
"Jangan nangis ya, Tama." Siwi mengusap pipi keponakannya yang basah.
"Mama jahat!" Teriakan keluar dari bibir mungil Tama.
"Semua gara-gara kamu! Kenapa kamu harus ada di dunia ini, hah? Aku benci sama ayahmu!" Putri hendak memukul anaknya. Tapi, Siwi menahan tangan sang kakak.
"Mbak! Ingat, dia titipan dari Tuhan. Jangan sakiti anakmu! Kamu memang sakit hati karena Mas Agung. Dia yang salah. Tama nggak salah, Mbak. Dia masih kecil, nggak ngerti apa-apa." Siwi melindungi Tama sekuat tenaganya.
Putri tersungkur dan berurai air mata. Begitu pula Pertiwi. Pertengkaran mereka adalah puncak kekesalan Putri. Sudah satu bulan suaminya, Agung tidak bisa dihubungi. Uang belanja sudah habis. Lalu, dengan gampangnya Putri meminta uang pada sang ibu. Perempuan centil itu ingin melakukan perawatan lagi di salon.
Tentu saja Tiwi marah besar. Bahkan, kebutuhan sehari-hari untuk Tama sudah ditanggungnya. Bagaimana bisa Putri seenaknya sendiri?
"Kalau memang Agung tidak mengirim uang, berarti kamu harus cari uang sendiri!" bentak Tiwi pada putri pertamanya. Baru kali ini ia benar-benar naik darah. Perilaku Putri tidak bisa dimaklumi lagi.
Putri tidak tahu harus menuntut hak kepada siapa. Mertuanya pun orang tidak mampu. Satu-satunya cara memang Putri harus bekerja. Ia memiliki seorang anak yang menjadi tanggung jawabnya. Tidak bisa hanya mengandalkan ibu yang juga jarang memperoleh hak uang belanja dari Haryadi, sang ayah.
"Kenapa sih semua laki-laki berengsek? Dulu, Ayah meninggalkan Ibu. Sekarang, Agung berbuat begini. Aku sudah memberi segalanya, bahkan punya anak karena ulah dia! Lalu, dia pergi gitu aja. Kenapa?" gumam Putri di sela isak tangisnya.
"Sudahlah. Nggak ada gunanya menyalahkan keadaan. Yang penting kita tetap melakukan yang terbaik," nasihat Bu Mitha. Wanita setengah baya itu mengelus-elus pundak Putri.
"Ibu tidak bisa lagi menuruti keinginanmu seperti dulu. Kamu sudah dewasa, Putri. Kamu sudah jadi ibu. Dengan atau tanpa Agung, Tama tetap tanggung jawabmu. Seperti juga Ibu mengasuh kalian, Putri dan Siwi. Ibu pun berjuang seorang diri sejak berpisah dengan Ayah." Tiwi bercucuran air mata.
"Ibu," bisik Siwi tak kuasa melihat pengorbanan ibunya sebagai orang tua tunggal.
"Tuhan menitipkan anak untuk membantu orang tuanya. Tolong, ringankan beban ibumu. Putri, ingatlah sudah begitu banyak hal yang dilakukan Ibu," ucap Bu Ratih di samping Tiwi.
Putri membisu. Ia baru tersadar atas kesalahannya. Apa yang sudah ia perbuat selama ini? Ia hanya bisa merepotkan keluarga.
"Jadi, aku harus kerja. Tapi, kerja apa? Cuma punya ijazah SMP." Putri menyesal tidak menamatkan SMA.
"Berusahalah, Mbak. Semoga cepat dapat kerja. Aku mau berangkat sekolah dulu," ujar Siwi lalu mengecup pipi Tama. Semangatnya tersulut untuk menempuh pendidikan. Ia tidak ingin mengalami kesulitan seperti Putri.
"Hati-hati, Siwi. Ayo, kita harus buka day care!" tegas Tiwi kepada para pegawainya.
Aktivitas hari itu berjalan kembali seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pramusiwi (Slow Update)
Teen FictionSiwi, gadis remaja yang membenci laki-laki. Saat masih SMP, ia sudah harus menggendong seorang bayi. Ibu dan kakak perempuannya pun menjadi korban yang harus ia lindungi. Dito, teman Siwi sejak kecil adalah pengecualian. Cowok itu yang selalu ada m...