8. Kemarahan Masa Silam

178 26 39
                                    

Hari pertama Siwi masuk sekolah sebagai murid kelas X IPA 1 SMA Candradimuka sedikit terusik. Harusnya ia bahagia memiliki seragam baru, ruang kelas baru, dan berbagai hal baru. Tapi, keponakan tercintanya sedang sakit. Sudah lima hari Tama demam. Suhu tubuhnya sempat turun, lalu sekarang naik lagi.

Kemarin, Pertiwi sudah membawa cucunya periksa ke dokter. Bocah itu terserang radang tenggorokan. Dokter menyarankan agar dirawat inap di rumah sakit. Tetapi, kondisi keuangan memaksa Tiwi memilih rawat jalan. Obat Tama hampir habis. Ia belum sehat juga.

"Nanti sepulang sekolah, aku akan menemui Ayah," tekad Siwi tadi pagi.

"Baiklah. Hati-hati, Nak." Pertiwi tidak menyuruh atau mencegah anaknya. Memang sudah sepatutnya ini menjadi tanggungan Haryadi, mantan suaminya. Ia tetaplah ayah dari Putri dan Siwi, juga kakek dari Tama.

Nafkah untuk dua anaknya saja sering tidak lancar. Sekarang ditambah lagi seorang cucu. Semoga nanti berhasil, doa Siwi dalam hati.

Pukul 15.30, gadis itu terpaksa meminta uang ke rumah ayahnya untuk membawa Tama ke rumah sakit. Selama ini, kiriman uang dari sang ayah diantarkan oleh karyawan. Itu pun tidak pasti waktu dan jumlahnya. Hasil day care dan kiriman Mas Agung, ayah Tama juga tidak cukup. Beberapa orang tua sebagai buruh pabrik dan pedagang kecil belum membayar biaya bulanan.

Sebenarnya Siwi merasa enggan. Tapi, ini dilakukannya demi menuntut hak Tama, Putri, dan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, mereka adalah darah daging Haryadi. Pria empat puluh lima tahun itu tinggal di kediaman yang menjadi satu dengan sebuah losmen kecil di pinggiran kota. Seorang wanita ber-make up menor menyambut kedatangannya. Seperti biasa, ketus dan menyebalkan.

"Minta uang lagi?" tanya Ajeng, istri baru Haryadi tanpa basa-basi.

"Mana Ayah? Urusanku sama Ayah. Bukan sama kamu!"

Ajeng tertawa mengejek. "Mas Yadi lagi pergi. Ini uang buat kamu! Dia biasa nitipin uang ke aku kok. Jadi, sama aja aku yang kasih." Perempuan tiga puluh tahunan itu menyerahkan beberapa lembar uang.

"Cuma segini?" Siwi merebut uang itu—kesal.

"Iyalah! Losmen ini sekarang sepi. Kalah bersaing sama hotel baru dan lebih besar."

"Tetap aja, Ayah wajib menafkahi anak cucunya. Bukan malah ngasih makan piaraan!"

"Bocah kurang ajar! Masih untung dikasih. Sana pergi!" Ajeng naik pitam.

"Heh, ada apa nih? Ribut amat!" Haryadi baru datang dan turun dari motornya.

Siwi menatap sosok sang ayah. Jujur, ia sangat merindukan pria itu. Tapi, terlalu sering sakit hati karenanya.

"Ayah, Tama sakit. Tolong, kasih uang lagi buat bawa dia ke rumah sakit!" Mata Siwi berkaca-kaca.

"Nggak ada! Ini tadi aja, Ayah baru balik dari bayar utang." Yadi menghindar dan masuk rumah.

"Udah dengar sendiri, 'kan? Pulang sana!" usir Ajeng. Tatapannya jijik. Ia mengikuti suaminya memasuki rumah yang sekompleks dengan losmen.

"Yah, lihat seragam Siwi! Sekarang anak Ayah jadi murid SMA Candradimuka," teriak Siwi di teras.

Haryadi mengintip dari balik jendela. "Ayah tahu. Pulanglah! Jangan kemalaman," ucapnya lalu menutup pintu.

Siwi mengusap air mata sambil menghitung uang di tangannya. Aku lebih butuh Ayah daripada uang banyak, batinnya pedih.

Dengan langkah gontai, Siwi menuntun sepedanya meninggalkan halaman losmen milik Haryadi. Ketika mengayuh sepeda, ia tak menyadari seseorang membuntuti sejak awal ia memasuki kompleks Losmen Bagaskara.

Pramusiwi (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang