Pagi yang cerah menambah ceria suasana SMA Candradimuka. Hari ketiga ini, kakak-kakak OSIS memberi tugas para peserta untuk mencari tanda tangan dari teman dan guru. Limapuluh teman sesama jurusan, tigapuluh teman berbeda jurusan, dan duapuluh guru. Itulah jumlah tanda tangan beserta nama yang harus mereka kumpulkan.
Setelah materi usai dan jam istirahat tiba, para siswa baru langsung menyebar ke penjuru sekolah. Mereka saling bertukar tanda tangan juga berburu di ruang guru. Tujuan pertama tentu kepada teman yang sudah kenal sebelumnya, yaitu satu sekolah di SMP, SD, atau TK. Tak terkecuali Siwi. Satu nama teringat dalam benaknya. Bersama Miranti, ia berkeliling di grup kelas IPS.
Siwi dan Miranti menemui para siswa IPS. Ada juga sebagian siswa IPS yang menghampiri siswa IPA. Herannya, Siwi tidak menemukan sosok Dito.
"Hayo! Kangen sama aku, ya?" Suara cowok di belakang Siwi mengagetkannya.
Miranti pun menoleh dengan terkejut.
"Hai, Dit! Ke mana aja? Eh, kenalin ini Dito sahabatku dari kecil. Ini Miranti, teman satu grup." Siwi berseri-seri menatap cowok tinggi besar di hadapannya.
"Halo, Miranti! Panggilannya siapa nih?" Dito mengajak Miranti bersalaman. Gadis itu kikuk menyambut tangan Dito.
"Ranti," ucapnya lirih.
"Tanda tangan dong!" Siwi menyodorkan buku catatan.
"Ciee, berasa artis ya dimintain tanda tangan. Kamu juga mau? Sini!" Dito menawari Ranti yang terdiam. Ia pun meminta tanda tangan dua siswi IPA itu.
"Oke. Makasih." Siwi mengajak Ranti berlalu meninggalkan Dito seusai bertukar tanda tangan.
"Wi, beneran dia cuma sahabatmu?" bisik Ranti sesudah berjalan agak jauh.
"Iya. Kenapa?"
"Dia keren banget, Wi!" Mata Ranti berbinar-binar.
"Hah? Nggak salah?" Siwi kaget. Tak lama kemudian terbahak.
Ranti tersenyum-senyum. Wajahnya memerah. Siwi lemas dan terduduk di bangku taman sekolah.
"Eh, udah dong. Malu nih," pinta Ranti agar kawannya berhenti tertawa. Beberapa siswa yang lewat memandangi mereka.
"Sorry, sorry. Duh, kamu sih lucu banget. Dari mana kerennya si Dito? Dia itu—" Siwi menahan tawa saat temannya menyela.
"Wi, cari tanda tangan guru, yuk! Kan masih kurang," ajak Ranti.
"Oke, oke. Ayo!" Siwi menenangkan diri dan berjalan mengikuti Ranti ke depan ruang guru.
Seorang guru lelaki muda melangkah mendekati mereka.
"Permisi, Pak. Kami mau minta tanda tangan," ucap Siwi santun.
Guru itu berhenti. Ia menatap Siwi cukup lama. "Boleh," jawabnya.
"Namanya siapa, Pak?"
"Raka Dewangga."
"Pak Raka, guru mapel apa?"
"Biologi."
Siwi menuliskan informasi tersebut di bukunya lalu menyerahkan pada sang guru.
"Kalian jurusan apa?" tanya Pak Raka sambil membubuhkan tanda tangan.
"IPA," jawab Ranti singkat, baru bersuara.
"Siapa namamu?" Mata Pak Raka fokus pada seorang siswi.
"Saya? Nama saya Siwi Anjani."
Ranti menatap guru dan murid yang berhadapan. Ia pun tetap diam karena tidak ditanya.
"Tinggal di mana?" Guru berkemeja biru langit itu terus mewawancarai Siwi. Wajahnya yang awet muda seolah baru lulus kuliah. Ranti menebak usianya tidak terpaut jauh dengan murid SMA.
"Di Perumahan Griya Maja Permai." Siwi mulai merasa guru itu bertanya terlalu jauh. "Maaf, Pak. Kami harus mencari tanda tangan ke guru lainnya."
"Oh ya, silakan." Akhirnya Pak Raka membiarkan siswinya pergi.
Siwi dan Ranti berburu tanda tangan hingga bel masuk berbunyi. Mereka kembali ke kelas. Materi wawasan lingkungan SMA Candradimuka dilaksanakan hingga jam sekolah berakhir. Para siswa beranjak meninggalkan bangkunya.
"Wi, Pak Raka tadi cakep, ya?" bisik Ranti lagi. Gadis itu memang pendiam tapi ternyata suka membicarakan lelaki.
"Ehm, iya sih." Kali ini Siwi gugup. Entah mengapa jantungnya berdebar kencang sejak diajak bicara oleh sang guru muda.
"Kalau gini nggak ketawa. Berarti Pak Raka emang keren, kan?" goda Ranti.
"Ih, apaan sih? Malah gosipin guru. Pulang, ah!" ujar Siwi berlari keluar kelas.
Giliran Miranti terpingkal-pingkal.
***
Pukul 16.30 Siwi baru pulang sekolah. Ia segera ganti baju dan menuju rumah sebelah. Anak-anak sudah menunggu di tempat penitipan. Satu jam sebelum dijemput, waktunya mereka mendengarkan pembacaan buku oleh Kak Wi, begitu sebutan Siwi.
"Halo, Adik-adik. Mau baca buku apa? Ibu Peri atau Kelinci Putih?" sapa gadis berambut sebahu. Ia mengambil buku bacaan dari rak.
"Kak Wi, Ibu Peyi!" jawab seorang anak perempuan gemuk.
"Oh, mau cerita Ibu Peri? Dengarkan, ya!" Siwi mulai membacakan dongeng dari bukunya.
Anak-anak berusia satu sampai tiga tahun menyimak dengan gembira. Seperti itulah aktivitas Siwi hingga mereka dijemput oleh orang tua. Untuk pagi hari, Putri juga mengisi kegiatan menyanyi dan menari. Bu Tiwi, Bu Pramitha, dan Mbak Nindi juga melaksanakan tugas masing-masing. Jadwal kegiatan di tempat penitipan anak itu dikerjakan penuh ketulusan. Walaupun kadang, orang tua para anak yang bekerja sebagai buruh pabrik belum melunasi biaya bulanan.
Pukul 17.30, semua anak telah dijemput. Siwi Pertiwi Day Care pun tutup. Setelah melakukan evaluasi sejenak, para pengasuh bersiap pulang. Siwi hendak mandi dan segera mengerjakan tugas MPLS.
"Eh, sekarang Siwi nggak pernah dianter Dito lagi? Kan satu sekolah," tanya Bu Pramitha ketika masih menunggu jemputan suaminya.
Siwi menggeleng. "Kami beda jurusan Bu Mitha. Mendingan berangkat sendiri, lebih mandiri."
"Betul itu. Senang ya, udah SMA. Apalagi SMA Candradimuka. Hebat!" Bu Mitha ikut bangga melihat anak bungsu Bu Tiwi.
"Makasih, Bu Mitha. Permisi, saya mau belajar dulu."
"Iya, Siwi. Yang rajin, ya!"
Bu Mitha menghampiri Bu Tiwi yang sedang menyapu.
"Dia memang rajin banget," ucap ibunda Siwi sambil tersenyum.
"Semoga nasib Siwi nggak seperti Mbak-nya"
Pertiwi mengangguk. "Amin."
"Eh, aku udah dijemput. Pulang dulu, ya!" pamit Bu Mitha.
Tinggallah Pertiwi sendiri merenungi kedua anaknya. Putri Maheswari dan Siwi Anjani memang jauh berbeda. Wajah dan kulit putih mirip sang ayah diwarisi oleh Putri. Sedangkan Siwi meniru kulit kuning langsat dan wajah ibunya. Kegemaran Putri dan Siwi pun tidak sama. Putri senang menyanyi dan menari. Siwi hobi silat dan membaca. Namun, Tiwi tidak pernah membedakan kasih sayang pada mereka berdua. Kini ia harus menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya akibat suami yang tidak setia.
Pertiwi menghapus air mata saat Putri berteriak memanggilnya dari dalam kamar, "Bu, badan Tama demam!"
"Astaga!" serunya sembari bergegas masuk rumah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pramusiwi (Slow Update)
Teen FictionSiwi, gadis remaja yang membenci laki-laki. Saat masih SMP, ia sudah harus menggendong seorang bayi. Ibu dan kakak perempuannya pun menjadi korban yang harus ia lindungi. Dito, teman Siwi sejak kecil adalah pengecualian. Cowok itu yang selalu ada m...