Tape 1

402 86 57
                                    

Kev

Kata-kata itu hidup.

Kalimat itu terngiang sejak aku berada di bus dengan suara gaduh yang berasal dari mulut anak-anak. Aku tidak memperhatikan mereka gaduh karena apa atau untuk apa, karena aku memang tidak pernah memperhatikan, aku sulit fokus.

Jadi, kata-kata itu hidup.

Aku menemukan tempat kosong di sepatu dan menulis kata-kata itu hidup dengan spidol.

Oke, sekarang kata-kata ini setidaknya akan menempel di sana selama pertandingan berlangsung atau lebih lama lagi. Setidaknya aku membekukan momen kata-kata ini agar tidak terngiang di kepalaku yang tolol ini.

Roni menatapku dari sela kegiatannya menyisir rambut dengan sela jari. Aku mengabaikannya, dan memasukkan spidol ke dalam tas. "Bro, jangan bikin ulah lagi nanti." Dia mengatakannya dengan nada serius.

Mataku menatap hidungnya karena aku tidak bisa menatap mata semua orang. Lalu aku melompat ke arahnya, menendang betisnya, dan berkata, "Santai, man. Santai."

Roni mengangkat alisnya. "Oke."

Tapi bahkan saat dia mengatakan itu aku masih mengatakan "santai" berulang-ulang seolah mulutku rusak. Di saat-saat seperti ini, aku mulai sadar bahwa inilah identitasku, labelku. Rusak.

Pak Danu menghampiri kami tepat saat acara penutupan kompetisi akan dimulai. Dia berdiri di tengah-tengah ruangan dengan tubuh menjulang. "Anak-anak, kalian akan masuk lapangan setelah acara penutupan selesai. Jadi, ganti baju dan jangan bercanda. Kalian harus fokus!"

Mungkin ini sebabnya aku masuk tim basket dan bukannya tim sepak bola, karena aku suka saat Pak Danu mengatakan, "Kalian harus fokus!"

Aku mengambil baju basket dari tas, tapi aku lupa kalau meletakkan ponsel di atasnya. Jadi saat aku menarik baju itu keluar, ponselku terpental dan melambung dan jatuh ke lantai. Bunyi ponsel jatuh membuat semua mata mengarah padaku, bahkan Pak Danu.

Setidaknya aku menjadi pusat perhatian selama lima persepuluh detik, karena setelahnya mereka kembali fokus pada kegiatan masing-masing.

Aku memasang senyum yang memperlihatkan gigi-gigi terbaikku lalu mengambil ponsel yang layarnya sudah pecah itu. Pecah.

Sialan, aku lebih suka pecah daripada kata-kata itu hidup.

Jadi, aku berjalan kembali ke arah tas, mengambil spidol, dan sebelum aku menulis pecah di samping kata-kata itu hidup, Pak Danu berteriak agar kami keluar dan berbaris. Aku memegang spidol, menatap benda itu, dan kehilangan fokus saat Pak Danu mendekatiku.

Mungkin aku akan menulisnya nanti.

"Jangan lupa anak-anak, kalian harus fokus! Dan, Kev, ya, Kevlar! Cepat ke sini! Jangan lambat, ayo, ayo!"

Spidol itu kembali berada di dalam tas.

Aku berlari keluar ruangan. Melihat lorong sekolah yang terang dan penuh.

Di depanku ada Roni.

Aku bernapas, dan berbisik pada diri sendiri. "Inilah saatnya."

RekamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang