Kev
Terlalu banyak teriakan.
Terlalu banyak orang.
Terlalu banyak hal yang harus diperhatikan.
Aku sudah bermain cukup baik di pertandingan-pertandingan sebelumnya, dan inilah kesempatanku. Aku hanya harus fokus dan berkonsentrasi pada satu hal, pertandingan.
Tidak akan ada yang akan meremehkanku, jika saja aku bisa menjadi best player di kompetisi ini. Mereka semua akan menarik label buruk itu dariku. Aku bisa membuktikan bahwa aku layak untuk diperhitungkan, untuk tidak diremehkan.
Namaku disebut oleh MC.
Aku berlari masuk lapangan, berusaha untuk fokus berlari dan menatap teman-temanku yang sudah di tengah lapangan, bukannya menatap tribun atau langit atau bahkan sepatuku yang penuh kata-kata. Berhasil. Aku sampai tanpa terjatuh.
Aku berdiri di samping Edgar, dia melirikku sebentar lalu mengabaikanku. Selanjutnya nama Roni disebut, dia kapten, jadi disebut belakangan. Akhirnya semua nama dari timku selesai disebut.
Seperti sebelumnya-sebelumnya, tiba-tiba aku terpental ke waktu yang lain, menit yang lain, detik yang lain. Seperti sihir. Tiba-tiba aku berada di samping semua pemain inti yang berdiri membentuk lingkaran. Roni sedang memberi semangat.
Sebenarnya bukannya aku terpental ke waktu yang lain. Aku melewatkan momen di mana aku berjalan ke lingkaran ini, aku tidak memfokuskan pikiranku pada momen ini. Singkatnya, otakku benar-benar rusak.
"Kev! Kubilang, fokus!" Roni berteriak tepat di depan wajahku, dia sekarang berada di tengah-tengah lingkaran. Aku menatap pangkal hidungnya, agar terlihat kalau aku sedang menatap matanya. Roni menggelengkan kepala. "Jadi, apa yang kubilang tadi, kita di sini tidak sedang mencari kemenangan. Jangan pernah ada yang berpikir begitu, oke? Kita di sini untuk bertanding dengan segala kemampuan yang ada, bukan untuk kemenangan, tapi untuk hal lain yang jauh lebih berharga. Apa itu?" teriak Roni.
"Kekompakan. Kebersamaan. Keahlian!" Mereka berteriak bersamaan, aku hanya membuka dan menutup mulut agar dikira ikut berteriak.
"Tapi, kalau kita menang, itu hanya bonus," lanjut Roni, "dan ingat, keselamatan kalian lebih penting dari apa pun. Jangan mendahulukan emosi, strategi yang kita susun bersama Pak Danu bisa saja meleset dari perkiraan. Jadi di sini kita hanya mengandalkan kekompakan, oke?" Roni mundur ke lingkaran, dan menaruh tangannya di tengah.
"Oke!" Kami menaruh tangan kami di atasnya dan mengangkatnya ke atas sambil berteriak.
Sudah selesai, akhirnya.
Aku melihat tim lawan latihan dengan memasukkan bola ke keranjang, sedangkan tim kami mulai melakukan pemanasan.
Pak Danu dan dua pelatih lainnya duduk di kursi khusus pelatih, tribun sangat ramai, MC yang tadi berdiri di tepi lapangan, dan ... sial, fokus, fokus, fokus. Pemanasan. Lari. Lari. Lari. Regangkan tubuh. Oke.
"Jangan jadi pengecut!"
Seketika kepalaku menoleh. Suara itu seakan menembus suara-suara yang lain dan akhirnya sampai di telingaku. "Keparat!" Lagi.
Aku mencari sumber suara itu. Kedengarannya cukup keras untuk didengar dari segala kebisingan yang ada di tribun.
Roni berlari menghampiriku sambil membawa bola. Wajahnya tampak kesal. "Kev, gue gak bisa lagi sabar kalo lo kayak gini terus."
Kata, kayak gini terus, terulang sampai lima kali di telingaku, memantul di otakku, dan terempas ke dalam kebisingan yang lain.
"Oke, mana bolanya," tantangku. Roni melemparkan bola itu padaku. Aku berlari sambil membawa bola dan melempar dari garis tiga angka. Masuk.
![](https://img.wattpad.com/cover/167546088-288-k259789.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekam
Teen FictionSemua orang tahu kalau Grie adalah cewek yang pintar, lucu, menawan, dan sangat memikat. Tapi, tidak ada yang tahu kalau Grie memiliki ketakutan yang sangat besar pada kematian. Semua orang tahu kalau Kev adalah cowok yang malas, bodoh, nakal, pemar...