Grie
Ada beberapa hal yang bisa membuat Grie marah. Pertama, ketika ayahnya bersikap terlalu protektif. Kedua, ketika dia tidak bisa berhenti memikirkan kematian. Ketiga, ketika dia tidak bisa memutuskan sesuatu dengan cepat.
Tangannya masih berada di leher, dan dia yakin seratus persen kalau sekarang mulutnya sedang terbuka lebar. Cowok itu menatapnya, semua orang menatapnya – pasti juga termasuk Ruel dan tiga mantan temannya itu.
Panitia menghampiri cowok itu, begitu pun wasit, pelatihnya, dan semua pemain. Seseorang bertanya apa Grie baik-baik saja. Sialan, dia baik-baik saja, dia hanya marah. Dia marah karena tidak bisa memutuskan untuk pergi dari tribun atau tidak. Dia sedikit malu karena bola itu menghantam lehernya bukan karena ketidaksengajaan, pemain basket dari sekolah lain itu dengan jelas melemparkan bola itu untuk Grie.
Apa salah Grie?
Sesuatu yang fatal, mungkin. Atau sepele. Sialan.
Meskipun malu, Grie harus tetap di tribun ini sampai pertandingan berakhir. Ruel bermain payah, apalagi jika dibandingkan dengan pemain basket yang melempar bola ke arahnya itu, dia bukan apa-apa.
Ruel menghampiri tribun. Saatnya untuk membuat keputusan.
Namun, Grie masih sempat memperhatikan ketika cowok yang melemparinya bola, yang Grie lihat nama di belakang bajunya adalah Kev, digiring keluar lapangan. Dia pasti dikeluarkan, padahal dia bermain bagus, dia mungkin bisa membuat Ruel kalah malam ini. Astaga, kenapa juga dia melempari Grie?
"Grie? Kamu tidak apa-apa?"
Ruel sialan.
Mata Grie menatap wajah Ruel yang berkeringat, bajunya yang basah, dan rambutnya yang tetap terlihat rapi meskipun dari tadi dia berlari di lapangan. Dulu semua hal yang terlihat di tubuh Ruel adalah sesuatu yang memikat, sekarang Grie hanya melihat sesuatu yang memuakkan. "Oh, jadi kamu masih sempat bertanya padaku tentang keaadanku, dan tidak sempat memberitahu kalau kamu berengsek?"
Mata Ruel melebar. Ruel sering memberikan ekspresi yang salah di momen yang tepat. Dia melebarkan mata saat terkejut, seharusnya saat terkagum-kagum. Dia tersenyum sedih saat begitu senang, seharusnya dia tertawa saja. Grie bahkan pernah melihat Ruel tertawa sewaktu seharusnya cowok itu menangis.
"Apa-apaan?" tanyanya.
Grie akhirnya memutuskan.
Dia melihat tiga mantan temannya melihat mereka, dan sekarang mantan pacarnya – belum secara resmi, karena Ruel masih pura-pura tidak tahu tentang segalanya – sedang bertingkah bego.
Gadis itu bangkit berdiri dari duduknya, lalu menyerahkan speaker yang dia pinjam dari supporter sekolah lain, dan berjalan menjauh dari tribun. Ruel memanggilnya.
Tribun ramai, dan suara Ruel berbaur dengan keramaian itu.
Lapangan kosong, semua pemain menepi, dan sepertinya sedang diadakan diskusi di sana. Ini gara-gara cowok itu, Kev, Grie jadi tidak bisa memuluskan rencananya malam ini.
Seharusnya dia bisa mempermalukan Ruel lebih lama, seharusnya setelah pertandingan selesai, Grie akan memutuskan Ruel di depan banyak orang, kalau Ruel menghampirinya, seharusnya Grie menamparnya.
Semua kata di otak Grie hanya berputar di kata seharusnya.
Ketika sampai di lorong sekolah – yang sepi dan remang-remang, Grie mengeluarkan walkman dari tasnya, lalu memasang headphone, dan menekan play. Threat Of Joy – The Strokes terdengar kemudian.
And for the first time in my life
I'm gonna get my self right
Just get into trouble
Be there on the double
Grie tidak sedang merasa benar, dia malah tidak tahu apakah dia salah atau benar. Dia hanya marah dan menyesal. Marah dan menyesal. Tentang segalanya. Dia bahkan tidak punya waktu untuk bertanya-tanya kenapa cowok itu, Kev, melempar bola itu padanya.
Sewaktu di parkiran, Grie mengeluarkan sepedanya dan mulai mengayuh keluar sekolah. Suara Julian – vokalis The Strokes – masih terdengar dari headphone.
Jalanan terlihat lengang, semua orang dewasa di kota ini mungkin sudah terlelap di rumahnya masing-masing, sedangkan para remaja sedang berkeliaran di suatu tempat atau nongkrong di mana saja. Saat inilah Grie sadar, kalau kota ini benar-benar kecil.
Ah baby, why's it so hard to read the sentence in my eyes?
Seandainya kota ini tidak kecil, mungkin Grie tidak akan terjebak dengan orang-orang seperti Tasya, Karin, Rani, dan Ruel. Jika kota ini besar seperti Jakarta, dia mungkin akan bergaul dengan orang-orang yang tahu caranya bersikap bukan hanya berpura-pura bersikap.
Tapi apakah Grie tahu caranya bersikap?
Grie mempercepat kayuhannya. Pohon-pohon bercampur dengan beton-beton, bangunan-bangunan bercampur dengan langit, semuanya bercampur, dan hanya membentuk kelebatan di sampingnya. Angin menerpa rambut Grie yang baru, yang sudah pendek sebahu, dia memotongnya karena Grie yang berambut panjang terlihat anggun, penurut, dan suka mengikuti aturan. Dia ingin Grie yang baru, yang kacau, payah, dan hancur, yang tidak menahan sikap di depan orang lain karena ingin menjaga perasaan mereka, yang terlihat eksentrik, bukannya manja.
Tapi, apakah dengan memotong rambut, Grie juga bisa memotong kepribadiannya?
Grie tertawa. Pertanyaan bagus.
Dia akan memikirkannya nanti, setelah menyusun rencana baru untuk Ruel.
Rumahnya terlihat. Grie sudah bilang, kota ini kecil. Jarak dari rumah ke sekolah saja tidak butuh waktu puluhan menit.
Ketika Grie melihat lampu di ruang depan masih menyala, Grie melanjutkan kayuhannya. Dia ingin pulang larut malam untuk melanggar aturan dan membuat Ayahnya cemas. Karena siapa tahu mungkin Grie mati besok dan dia belum pernah pulang larut malam atau melanggar aturan. Mungkin saja dunia kiamat besok dan Grie belum membuat kekacauan apa pun.
Oh, you took a minute break
And said, "thumbs up, they're okay."
Grie tidak mau mati dengan diingat sebagai cewek yang tidak pernah melanggar aturan atau membuat kekacauan.
Padahal kalau diingat-ingat dia sebenarnya sudah banyak membuat kekacauan. Tapi, apa salahnya menjadi semakin kacau? Lagian dunia memang sudah kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekam
Teen FictionSemua orang tahu kalau Grie adalah cewek yang pintar, lucu, menawan, dan sangat memikat. Tapi, tidak ada yang tahu kalau Grie memiliki ketakutan yang sangat besar pada kematian. Semua orang tahu kalau Kev adalah cowok yang malas, bodoh, nakal, pemar...