Tape 20

75 13 2
                                    

Grie

A dan B. Grie bingung antara keduanya. Dia sudah mencoret opsi C, D, dan E. Sebelum Grie memutuskan antara dua pilihan itu, Bu Sarwiyah mengumumkan bahwa waktu sudah habis. Semua peserta ulangan harus mengumpulkan kertasnya. Grie menatap kertasnya, lalu menatap bulatan-bulatan kecil yang berdampingan di nomor 40. Masih kosong, tidak ada jejak pensil yang menutupi bulatan itu.

Bu Sarwiyah menegaskan sekali lagi agar mengumpulkan kertas ulangan. Grie bangkit berdiri, membawa kertas soal yang di nomor 40-nya belum terisi. Kertas itu terasa ringan di tangannya, seakan memberitahu bahwa Grie sudah memutuskan hal yang tepat. Tidak memilih juga merupakan pilihan.

Setelah bagian pertama di kelasnya selesai ulangan Bhs. Indonesia, bagian kedua masuk kelas. Lalu siswa yang mendapat giliran bagian pertama, termasuk Grie, menunggu di luar kelas.

Grie memilih duduk dengan Fanya yang sedang membaca novel sambil bersandar di dinding kelas. Fanya tidak banyak bicara, jadi mudah bagi Grie untuk duduk di sampingnya tanpa mengatakan apa pun. Dia langsung mengeluarkan walkman lalu memutar kaset yang dia bawa, dan ternyata hari ini dia bisa mendengarkan lagu Gone oleh Jr Jr. Suara siulan dari lagu itu membuatnya memejamkan mata, lalu membukanya lagi karena sekarang dia merasa kosong. Jenis kosong yang dia depak sewaktu malam, dan dia sambut ketika dia ingin menyambutnya.

Dia mengingat dinginnya tangan Rani saat cewek itu ketakutan di belakang toserba, dia ingat senyuman Ruel ketika mereka di rumahnya, dia bahkan mengingat tatapan bersalah Karin di UKS, dan tentu saja, dia tidak bisa melupakan wajah pucat Tasya, lalu wajah kaget Nadia di rumah sakit. Mereka semua dulu memiliki wajah yang sama. Wajah ramah penuh kebahagiaan. Grie mengingat-ingat kapan terakhir kali dia merasa takut jika mereka meninggalkannya, rasanya sudah lama sekali. Mungkin saja ini pilihan yang tepat, Grie tidak lagi merasa ketakutan, hanya saja dia sedikit merasa kesepian. Dia merasa seperti debu di ujung sepatu pendaki, yang berharap tidak disingkirkan saat pendaki itu sampai di puncak gunung. Dia berharap sendirian, tanpa ditemani kotoran yang lain.

"Grie, itu kamu," kata Fanya. Grie mendongak ke samping, wajah Fanya tampak datar, tapi sedikit beriak. Mata Fanya bergerak ke atas, Grie mendongak. Ruel ada beberapa langkah di depannya, dia berjalan tepat di tengah lorong sekolah, dan cahaya di belakangnya tampak mengelilinginya, seakan dia muncul dari cahaya atau semacamnya.

Mulutnya bergerak, memanggil Grie.

Grie langsung berdiri, melepaskah headphone, dan berjalan menghampiri Ruel.

Ruel tampak rapuh. Ada perban yang melingkari keningnya, perban dengan bulatan merah di atas alis, seakan menegaskan kalau ada luka di sana. "Keningmu tidak apa-apa?"

Ruel menyentuh keningnya, gerakan impulsif. "Hanya lecet, jadi tidak apa-apa."

Namun, tidak bisa dipungkiri kalau Grie melihat ringisan Ruel saat cowok itu menekan keningnya. "Aku ke sini karena kata Rani kemarin kamu sempat berurusan dengan anak-anak big man."

Sejujurnya Grie tidak percaya Rani yang bilang, tapi dia ingin percaya karena mungkin saja Rani memang masih sepeduli itu padanya untuk menceritakan kejadian kemarin pada Ruel. "Hanya sebentar, Rani tidak bilang? Mereka mengganggunya, jadi aku hanya berusaha membantu."

"Mereka melukaimu?"

Rasa perih di bagian belakang kepala Grie kembali terasa karena pertanyaan itu. "Tidak. Geno langsung menolong."

"Untunglah." Ruel menatap mata Grie, "kalau mereka, maksudku, kamu bertemu mereka lagi. Katakan saja kalau kamu temanku."

Teman. Kata itu terlontar canggung dari mulut Ruel, padahal awalnya mereka memang cuma teman 'kan? Grie jadi ingat alasan mereka dekat dulu. Karena mereka menyukai lelucon yang sama di Twitter, Grie me-retweet lelucon itu. Lalu Ruel me-retweet sambil meninggalkan komentar di retweet Grie, dia lupa apa yang Ruel tulis di sana, tapi kemudian mereka saling berbalas retweet, dan menjadi semakin dekat. Mereka sebenarnya saling kenal di sekolah. Kenal yang hanya seperti, "oh, itu Grie." "Oh, itu Ruel yang pemain basket." Hanya sebatas itu, tapi karena berbalas retweet itulah mereka mulai saling bertemu dengan cara yang lain. Seperti, "Hai Grie, lumayan ya percakapan yang tadi malam." Atau, "Ruel, sori tadi malem aku ketiduran." Dan tentu saja setelah itu mereka semakin memperjauh hubungan.

RekamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang