Tape 19

40 8 0
                                    

Kev

E-mail itu kubaca sewaktu Pak June menulis angka-angka acak di papan. Kakiku tidak bisa berhenti bergerak di bawah bangku, sedangkan tanganku mengetuk layar ponsel berkali-kali, berharap bisa memikirkan satu hal dalam satu waktu. Tapi pikiranku malah melayang ke mana-mana, beterbangan mirip burung-burung yang terlihat di langit sore kota ini. Aku menatap papan, memicingkan mata karena penglihatanku tidak terlalu bagus. Lalu kembali melihat ponsel.

Bino mencatat sesuatu di bukunya. Dia sepertinya sudah bosan menyuruhku berhenti bergerak.

Sewaktu Pak June belum selesai menulis di papan, aku menggerakkan kursiku ke samping, lalu maju-mundur. Sialan.

Fokus.

Mataku melirik kata-kata yang memudar di sepatuku. Hari ini ada dua kata. Parah dan Retak. Lalu aku meraba notes di saku baju, di mana ada tulisan. Hari ini tidak ada apa-apa.

Aku ingin sekali memanjat sesuatu sekarang, atau menggulingkan meja ke samping agar terdengar suara gaduh. Keinginan itu terus membesar setiap detiknya, tapi aku menahannya. Dr. Sarah selalu bilang agar aku tidak menuruti segala apa yang diperintahkan otakku. Seandainya dia berada dalam tubuhku sekarang juga, mungkin dia tidak akan pernah mengatakan hal itu.

Aku menatap ponselku lagi. Di sana tertera laman e-mail yang kubuka, dan pesan yang dikirimkan Grie. Pesan yang cukup singkat.

Aku punya ide. Bagaimana dengan bolos sekolah?

Dengan cepat, aku menggerayangi tombol di layar ponsel.

Sekarang?

Tidak ada balasan. Aku menunggu sambil menggerakkan kakiku di bawah bangku, dan mengetukkan jari di layar ponsel. Akhirnya balasan datang.

Tentu. Memangnya kapan lagi?

Setelah membaca pesan itu aku langsung mengacungkan tangan. Pak June tidak melihatnya karena dia sedang menulis di papan. Jadi, aku memasukkan ponselku ke saku celana, dan menaruh tas di kolong meja. Aku berjalan ke depan dengan santai, walaupun sebenarnya aku ingin berlari dan mematahkan sesuatu.

Setelah sampai di dekat Pak June, aku memanggilnya. Pak June menoleh dengan spidol di tangan kanan. "Saya mau permisi ke kamar mandi, Pak."

Pak June mengangguk, lalu aku keluar kelas.

Aku menuju parkiran sekolah, mencari mobilku, setelah menemukannya aku langsung masuk ke mobil lalu duduk diam di depan kemudi. Apa yang kulakukan?

Kakiku masih terus bergerak seolah tidak bisa dihentikan. Kenapa aku selalu mengikuti apa kata cewek itu?

Mataku memandang sekolah yang dari parkiran tampak sepi, sebenarnya lebih condong ke murung. Aku membayangkan ratusan anak yang terisolasi di dalam kelas-kelas itu, menunduk di atas meja, atau mendongak menatap papan, mereka hanya bisa menggerakkan tangan untuk menulis dan mulut untuk bicara, itu pun jika mereka ingin bertanya atau menjawab.

Aku tidak ingin menjadi salah satu dari mereka, setidaknya untuk hari ini.

Akhirnya aku menghidupkan mesin mobil, dan langsung menuju sekolah Grie.

***

Aku mengirim e-mail pada Grie setelah sampai di sekolahnya. Dia tidak membalas. Aku menunggunya sambil memperhatikan pagar sekolah Grie yang mengelilingi bangunan panjang di dalamnya. Tiba-tiba ingatan pertandingan basket pada malam itu terulang lagi. Oh, ya benar, di pertandingan itulah aku pertama kali bertemu Grie. Mungkin juga tidak, tapi masa bodoh.

RekamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang