Tape 16

39 11 9
                                    

Grie

Senin pagi adalah di mana lagu Lynyrd Skynyrd menguasai kamar Grie. Cewek itu mengitari kamar sambil bergoyang mengikuti suara gitar yang seakan menggodanya. Dia bahkan melompati ranjang dua kali ketika sampai di lirik "Sweet home Alabama. Where the skies are so blue"

Namun, ketika alarm ponselnya bergetar, mengingatkan kalau dia harus segera berangkat sekolah, Grie segera memasukan kaset ke dalam walkman dan mendengarkannya lewat headphone.

Sewaktu Grie keluar dari rumah dia melihat ayahnya sedang bersiap-siap di teras, memasang sepatu mengilatnya. Mereka masih belum berbicara satu sama lain, kecanggungan memelesat di antara mereka saat Grie melewati ayahnya. Dulu, saat mereka bertengkar, ibu Grie biasanya bakal melakukan segala cara agar mereka berbaikan. Tapi sekarang, tidak ada lagi penghubung ujung yang patah itu.

Grie memasang sepatu ketsnya, dan langsung mengendari sepeda keluar halaman rumah.

Sewaktu sampai di sekolah, Grie disambut dengan ocehan teman-temannya di teater tentang penampilan mereka minggu depan. Grie mencoba mendengarkan segala percakapan itu, tapi pikirannya malah fokus ke tempat lain. Lagian dia hanya bertugas membuat properti panggung, jadi tidak ada hal penting yang harus dia dengarkan.

"Kenapa tidak coba saja Grie?" kata Raina dengan nada kalem. Grie mendongak, mencoba mengingat apa yang sebelumnya Raina katakan. Geno yang selalu suka menjatuhkan lawan bicaranya langsung menunjuk otak Grie.

"Jadi, ditinggalkan di mana otakmu hari ini, girl?"

Grie memutar bola matanya. "Coba katakan sekali lagi, dan kita lihat apa otakku masih bisa dijemput."

Raina menjelaskan dengan lembut. "Kita akan mengadakan sedikit perubahan dalam teater. Karena setiap tahun yang ditampilkan teater sekolah ini sama-sama saja, hanya menonjolkan akting dan properti, kita ingin mencoba hal baru."

Radit, pimpinan produksi dari teater ini angkat bicara. "Tessa mengusulkan untuk menambahkan musikalitas di dalamnya."

Grie menyipitkan mata, mencoba menunjukkan gestur curiga. Geno langsung menyemprotnya. "Tuh 'kan, nih anak pasti gak bisa diandelin."

"Menambahkan musikalitas gimana?"

"Kayak teater musik, tapi cuma ditampilin sebentar, di tengah-tengah konflik ceritanya. Kamu pernah nonton The Greatest Showman?" Raina lagi-lagi menjelaskan dengan kekaleman yang membuat Grie merasa kasihan jika harus bersikap menyebalkan di depannya.

"Enggak."

"Mana pernah dia nonton film," celetuk Geno.

Grie melemparkan botol minuman pada Geno, yang langsung dihentikan Radit, dan menyuruh Geno bersikap dewasa. "Teaternya bakal ditampilin minggu depan, Gen."

Geno mengangkat bahu. "Ada ekskul nyanyi di sekolah ini. Kenapa gak cari bantuan aja sama mereka?"

"Masalahnya, kita harus nampilin teater yang semua anggotanya berasal dari ekskul kita." Suara Radit menegas, dan tatapannya berubah serius. Itu artinya tidak ada yang bisa membantahnya lagi. "Lanjutin, Rai."

Raina menatap Grie lagi. "Jadi, di film itu ada adegan di mana setiap pemain sirkusnya bernyanyi ketika konflik memuncak." Raina tersenyum, "karena cerita di teater kita bercerita tentang anak-anak yang mengejar impiannya, menambahkan nyanyian dalam cerita bisa bagus banget."

"Terus?" tanya Grie, masih belum mengerti.

"Kita butuh penyanyi yang bakal mimpin mereka kayak di The Greatest Showman, nanti bakal aku kasih deh videonya." Raina tersenyum hangat, tapi Grie melihatnya sebagai senyuman licik agar Grie tergoda mengikuti segala kemauannya. "Kami mau kamu yang nyanyi."

"Kami itu bukan termasuk aku," kata Geno.

Mata Grie mengerjap cepat. Dia? Menyanyi?

"Tunggu, tunggu, apa alasan kalian milih aku?"

Radit menghela napas. "Kamu pernah nyanyi di SMP, Grie."

"Itu paduan suara!"

"Kamu sering dengerin lagu pake walkman." Raina ikut-ikutan.

"Itu karena aku suka musik."

Geno mengisyaratkan agar mereka berhenti bicara. "Jangan paksa dia kawan. Kita bisa ajak yang lain."

"Siapa lagi? Yang lain 'kan punya peran penting dalam teater." Raina mengatakannya seolah kata-katanya tidak menyakiti siapa pun.

"Jadi, aku gak punya peranan penting dalam teater?" kata Grie agak kesal.

Mereka bertiga menatap Grie, lalu mengangguk berbarengan.

***

Di kelas, Grie mendengarkan Pak Bustomi menjelaskan tentang galaksi katai yang katanya ada beberapa yang tak lagi membentuk bintang dan malah berupa bercak kecil membosankan. Grie membuka-buka buku paketnya, melihat-lihat gambar bintang di sana, lalu mengecek ponselnya sesekali untuk melihat apakah ada yang mengiriminya pesan.

"Sebagian besar galaksi katai yang sudah ditemukan berada dekat dengan galaksi-galaksi yang lebih besar. Dua awan Magellan adalah bagian keluarga katai Bimasakti. Dalam gambar penelitian oleh model komputer orbit galaksi satelit menunjukkan kerusakan perlahan yang akhirnya menyebabkan galaksi katai dirobek, lalu dilahap, oleh galaksi utama." Pak Bustomi mengitari meja anak-anak, "sedangkan sebagian besar lainnya dari galaksi katai malah sukar dideteksi. Ada yang tahu alasan kenapa galaksi katai sukar dideteksi, anak-anak?"

Fajar langsung mengangkat tangannya. Pak Bustomi mempersilakan. "Ada tiga alasan, pertama galaksi katai kecil, sehingga mudah terlewat karena galaksi spiral cantik lebih menarik bagi kita. Kedua, galaksi katai itu suram, sehingga tak tampak di banyak survei galaksi. Ketiga, galaksi katai memiliki kerapatan bintang yang rendah, sehingga tak tampak tajam di tengah pendar cahaya atmosfer Bumi dan sumber cahaya lain."

Grie manatap Fajar yang duduk tiga bangku di sebelah kanannya. Entah kenapa jawaban Fajar membuat Grie memikirkan kehidupannya. Apa hidup Grie seperti galaksi katai? Sehingga sulit sekali bagi orang-orang untuk mendeteksi perasaannya. Atau, apa semua orang di dunia mirip galaksi katai? Bahwa setiap orang juga memiliki tingkat kekecilan, kesuraman, dan kerapatan masing-masing yang menyebabkan mereka tidak bisa mendeteksi perasaan satu sama lain.

Pak Bustomi memuji Fajar, lalu menanyakan apakah ada yang ingin menambahkan. Grie mengangkat tangannya, Pak Bustomi mengabaikannya karena Grie selalu mengatakan yang aneh-aneh ketika di kelas. Sewaktu masih mengangkat tangannya tinggi-tinggi, Grie berpikir bagaimana jika bukan karena ketiga alasan itu yang menyebabkan galaksi katai tidak mudah dideteksi, seperti perasaan manusia. Bagaimana kalau itu hanya tentang kesederhanaan yang dicari-cari manusia melalui pelosok kerumitan?

Akhirnya Pak Bustomi menunjuk Grie. "Ya, Grie."

"Mungkin galaksi katai sulit dideteksi karena dia jauh lebih banyak dari galaksi normal."

Anak-anak tertawa. Pak Bustomi menghela napas. Grie langsung menambahkan. "Manusia 'kan suka melihat yang normal, meskipun sedikit dan tersebar di kejauhan. Sedangkan galaksi katai yang masih berbentuk bintang tak beraturan, dan sejujurnya menyedihkan tidak mungkin menarik perhatian manusia, ya 'kan, Pak?"

Sebelum Pak Bustomi menjawab, Grie memotongnya. "Atau, mungkin saja kita harus merevisi arti dari kata normal!"

Kelas riuh karena suara tawa, Grie menurunkan tangannya, bersandar di kursi dan puas akan jawabannya sendiri. Sebaliknya, Pak Bustomi mengingatkan dirinya sendiri agar tidak mempersilakan Grie membuka mulutnya di kelas meski dalam keadaan apa pun.

***

Sepulang sekolah, Grie berlatih menyanyi di ruang teater. Geno lebih sering mengejeknya daripada bertepuk tangan, tapi itu hanya Geno, hampir semua orang di ruang teater menyukai suara Grie. Meskipun Grie tidak menyukai perannya yang sekarang, tapi setidaknya dia memiliki sesuatu untuk dilakukan. Sekarang dia tidak punya Nadia untuk diajak berbincang-bincang, Karin untuk melakukan kenakalan, Tasya untuk bertingkah seolah Grie pelindungnya, Rani untuk diajak bertengkar, atau bahkan Ruel untuk diajak membicarakan hal remeh yang anehnya malah Grie rindukan sekarang.

RekamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang