Kev
Kesalahan pertama yang kulakukan hari ini adalah langsung menyetujui ajakan Edgar untuk latihan basket di lapangan pinggir kota, tanpa melihat notes di tas, atau saku bajuku.
Kesalahan kedua. Aku lupa mengecek baterai ponselku.
Kesalahan ketiga. Aku mengalami fase "ingin memikirkan kehidupan sintingku sembari berbaring di tengah lapangan bersama temanku yang juga sinting".
Kesalahan keempat. Aku muak pada otakku.
Jadi, jika kesalahan-kesalahan itu digabungkan maka akan menjadi satu cerita utuh yang benar-benar menyebalkan. Kurang lebih, ceritanya akan menjadi seperti ini;
Edgar mengajakku bermain basket sepulang sekolah. Aku menyetujuinya karena bermain basket merupakan satu-satunya hal yang bisa melatihku untuk fokus selain merekam hal bodoh seperti yang disuruh cewek itu. Ketika kami sampai di lapangan basket, aku bermain seperti orang gila, melempar bola ke sana kemari, melompat bahkan saat tidak memegang bola, berlari bahkan saat Edgar tidak mengejar, mengitari lapangan seolah ada yang menyuruh, lalu memiting kepala Edgar. Aku lupa waktu saat membiarkan otakku mengambil alih. Kami bermain sampai malam. Aku lupa kalau ada notes di tasku yang bertuliskan makan malam keluarga dadakan dan ponselku yang mati karena kehabisan baterai padahal ibu menelepon berkali-kali.
Sewaktu Edgar kelelahan, dia berbaring di lapangan yang masih terasa hangat bekas sinar matahari tadi. Aku ikut berbaring di sampingnya. "Yo, menurut lo Tari cantik gak?"
Meskipun otakku sering rusak, aku masih bisa ingat siapa itu Tari karena Edgar selalu membicarakannya. Walaupun kadang ketika menghubungkan wajah Tari dengan seseorang, yang kulihat malah wajah yang buram. "Yep."
"Menurut lo, gue harus bergerak?"
Bergerak yang dia maksud adalah membuat suatu langkah untuk mendekati Tari, menurutku. "Yep."
Edgar tergelak. Sewaktu dia diam. Aku yang mulai bertanya. "Menurut lo kota ini bagus gak?"
"Yah, lumayan sih, tap-"
"Kalo lo punya kesempatan bisa pergi dari kota ini, lo mau ke mana?"
"Mungkin kota yang-"
"Menurut lo kenapa kita bisa terlahir di kota ini?"
"Karena-"
Ketika aku membuka mulut lagi, Edgar menyela. "Lo nanya apa gimana sih?" Dan seketika itulah aku sadar kalau aku telah memotong ucapan Edgar berkali-kali. Aku melanggar peraturan pertama, yang paling penting. Jangan pernah memotong ucapan orang lain.
"Sori."
"Santai, man." Edgar menyikut rusukku, "kota ini emang berengsek, maksud gue, gak ada mal besar yang bisa gue jadiin tempat buat gue ngajak jalan Tari nanti, dan orang-orang di kota ini, ya itu-itu aja. Membosankan."
Aku menunggu Edgar mengucapkan hal lain, tapi dia terus diam ketika kami memandang langit yang gelap. Jadi, karena otakku adalah rumah tanpa atap, segala sesuatu yang berjatuhan dari langit mulai masuk ke dalam sana. Aku memikirkan hal bodoh yang tidak perlu kupikirkan sehingga hal penting yang seharusnya kupikirkan malah terpental ke tempat lain.
***
Sewaktu aku pulang. Paman Dani sudah duduk di teras bersama Tante Haira, mereka memandangku dengan cara yang sama ketika ibu kecewa padaku. Bahkan saat melihat mereka, aku masih belum ingat kalau aku melupakan acara makan malam yang sangat penting itu.
Lalu ibu keluar dengan wajah tertekuk dan kakek mengikuti di belakangnya. Ibu tidak mengatakan apa pun karena kakek yang mewakilinya. "Dari mana saja kamu?"
Aku menunggu otakku berdesing, tapi ketika itu tidak terjadi aku menjawab, "Sekolah."
"Sekolah apa yang sampai jam delapan malam?"
Aku memalingkan muka. Lalu kakek mengatakan hal yang dia tahu akan membuatku merasa seperti sampah. "Apa kubilang, Am? Anak ini pasti bakal mengikuti Ayahnya yang gak berguna itu. Sekarang saja sudah berani tidak pulang ke rumah, padahal sekarang malam peringatan kematian neneknya. Nanti dia juga paling akan berakhir sama dengan Ayahnya."
Cara dia menyebut anak ini seakan aku adalah barang rusak yang entah kenapa bisa mewujud manusia dan menjadi cucunya. Aku menahan emosiku, melakukan gerakan menggigit bibir, berkedip cepat, mengembuskan napas, dan mengepal seperti yang diajarkan Dr. Sarah dulu. Namun, sekarang cara itu tidak berhasil ketika lagi-lagi kakek berkata pada ibu. "Seharusnya kamu gak menjemputnya dari tempat pembuangan itu."
"Itu bukan tempat pembuangan!" teriakku. Mereka semua menatapku dengan sorot mata ketakutan, seolah aku bisa berubah menjadi monster atau bagaimana. Aku ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi lidahku terasa mengelupas sehingga yang tersisa dari mulutku hanyalah rongga tak berujung.
Aku langsung pergi setelahnya, dengan jantung berdegup kencang dan gigi mengatup rapat. Ibu memanggilku dua kali, itu pun seakan dia melakukannya hanya sebagai keharusan. Aku menahan diri agar tidak meninju bagian samping mobil, dan berhasil. Tapi aku malah membenturkan kepalaku ke setir berkali-kali sampai perasaan ingin meledak itu menghilang. Namun, sayangnya perasaan itu tidak pernah hilang, dia hanya bersembunyi di suatu tempat, dan menunggu untuk menampakkan dirinya lagi suatu saat.
***
Aku mengitari kota dengan memikirkan banyak hal. Namun, ketika ucapan kakek melayang-layang di sekitarku, aku menambah kecepatan mobil agar fokus mengemudi.
Kota ini tampak tua saat malam hari. Tidak banyak orang-orang yang berkeliaran di jalanan, toko-toko sudah tutup saat jam sembilan malam, kelompok-kelompok remaja yang nongkrong di jembatan atau tempat lainnya hanya beberapa. Aku senang beberapa bulan lagi bisa pergi dari sini. Aku hanya harus menunggu waktu bergerak, lalu membawaku pergi bersamanya.
Aku membawa mobil menyusuri jalanan panjang berisi gang-gang sempit yang tak pernah kudatangi, lalu menembus satu-satunya jalan besar yang ada di kota ini. Namun, jalanan ini hanya besar ukurannya, jarang ada kendaraan yang lewat pada jam-jam sekarang. Tapi aku melihat seseorang berlari di trotoar, wajahnya terasa familier. Ketika tudung jaketnya tersingkap karena angin, aku langsung menghentikan mobil dan memencet klakson. Cewek itu menoleh sebentar. Setelah mengusap matanya, dia menunduk di depan jendela mobil. Aku menurunkan kaca jendela, yang membuatku bisa melihat senyum lebar milik Grie.
"Wah, mobil keren," katanya.
Aku tidak ingin menyuruhnya masuk, tapi kenapa aku menghentikan mobil? Karena aku ragu-ragu, aku berniat untuk langsung pergi. Namun, Grie mengitari mobil dan masuk ke mobil tanpa bertanya apa aku membolehkannya melakukan itu. Dia duduk di sampingku dengan membawa aroma aneh yang tidak bisa kujabarkan.
Tangannya menyusuri sobekan di kursi, dan matanya menatapku. "Sekarang, ke mana?"
"Hah?"
"Kita bakal ke mana?" tanyanya, seolah itu pertanyaan paling wajar saat ini.
Aku memalingkan muka sambil mengangkat bahu. Lalu Grie berkata, "Kalau begitu kita ke jembatan saja."
Aku menghidupkan mesin mobil, tanpa benar-benar berniat untuk membawa Grie bersamaku. Tapi ketika aku menyadari arah pikiranku, kami sudah sampai di jembatan itu dengan Grie yang mengoceh tentang banyak hal.
Sebenarnya apa yang dilakukan cewek ini kepadaku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Rekam
Teen FictionSemua orang tahu kalau Grie adalah cewek yang pintar, lucu, menawan, dan sangat memikat. Tapi, tidak ada yang tahu kalau Grie memiliki ketakutan yang sangat besar pada kematian. Semua orang tahu kalau Kev adalah cowok yang malas, bodoh, nakal, pemar...