Tape 7

113 28 16
                                    

Kev

Kalau diibaratkan, otak orang normal adalah rumah dengan properti yang lengkap dan berfungsi. Rumah itu memiliki atap yang tidak bocor, pintu yang bisa dibuka dan ditutup sesuka hati, lantai yang bisa disapu dan dibersihkan, ada beberapa ruang, ada segalanya. Walaupun kadang properti-properti itu ada yang rusak, suatu hari nanti pasti bisa dibenarkan. Atap yang bocor bisa ditambal, pintu yang macet bisa diperbaiki, lantai yang licin bisa dilap, ruangan yang penuh bisa dikosongkan, sampah di dalam rumah bisa dibuang.

Lalu, otak orang sepertiku itu berbeda. Diibaratkan rumah yang propertinya tidak lengkap. Tidak ada atap, jadi segalanya bisa masuk ke dalam rumah – air, tanah, daun, segalanya. Pintu yang terus terbuka, tidak bisa ditutup. Jadi, aku tidak bisa menutup pintu ketika ada sesuatu yang tidak diinginkan ingin masuk ke rumah. Karena pintu dan atap yang bermasalah, segalanya bisa masuk ke dalam rumah, membuat semua ruangan penuh dan sesak, dan meskipun berkali-kali aku berusaha membuang sampah-sampah itu, segalanya masuk kembali. Sia-sia kalau atap dan pintu tetap terbuka. Sia-sia.

Ibu tidak mengerti itu.

Dia kembali membandingkanku dengan Alex anak tetangga yang dikatakannya sebagai "anak penurut dan selalu mendengarkan apa kata orang tua".

"Tidak bisakah kamu melihat Alex, Kev?" Ibu menatap jariku yang mengetuk meja, "jangan mengetuk meja, dengarkan ibu! Kamu selalu tidak mendengarkan apa yang ibu katakan, harus berapa kali ibu ingatkan agar kamu bangun lebih pagi? Dan kejadian tadi, sudah sering kamu lupa menjemput ibu dari rumah Haira, padahal kita ke sana seminggu sekali!"

Aku menarik jariku ke bawah meja, lalu mulai menggerakkan kaki di bawah meja. "Tidak bisakah sesekali kamu bersikap baik pada ibu, Kev?"

Wajah ibu tampak buram di mataku, itu karena aku kurang berkosentrasi. Jadi, aku kembali menaruh tangan di atas meja dan memutar ujung taplak maja. "Kev!" Ibu mulai terdengar frustrasi, "apa yang salah denganmu? Berhenti bermain-main dengan taplak meja, dengarkan ibu!"

Apa yang salah denganku?

Bu, otakku mirip rumah yang tidak memiliki atap dan pintu! Ibu tahu itu, bukankah ini baru 9 bulan? Aku baru kembali dari tempat sialan itu ke rumah ini, dan tentu saja ibu tahu di mana kesalahan itu!

Aku mencoba menatap wajah ibu, tapi malah aku memperhatikan taplak meja yang kusut.

"Ini membantu," kataku dengan suara monoton, "ini membantu membuatku mendengarkanmu."

Ibu memijat keningnya. "Berhenti lakukan itu. Sekarang, jawab ini, kapan kamu bisa membuat ibu senang?"

Aliran kecemasan menjalari lapisan kulitku. "Aku mencoba, oke. Aku mencoba." Bibirku terasa saling merekat satu sama lain, "aku mencoba mendengarkan ibu, aku mencoba tidak lupa dengan apa yang ibu katakan, aku mencoba menjadi anak baik, aku mencoba!"

Ibu menggeleng. "Tidak, kamu tidak mencoba. Kamu hanya berkeliaran dengan teman-teman nakalmu, menghancurkan seisi kamarmu, membuat keributan di mana pun itu, dan selalu melakukan hal yang meresahkan. Ibu tidak bisa-"

Dia memotong kalimatnya.

Itu sering terjadi.

"Ibu tidak bisa apa? Tidak bisa bersamaku lagi? Tidak bisa menerimaku lagi, dan akan mengirimku ke penampungan itu lagi?"

"Bukan! Bukan itu yang mau ibu katakan."

Jariku masih memutar taplak meja. Aku tahu jelas itulah yang akan ibu katakan. Dia benar-benar muak denganku. "Lalu ibu tidak bisa apa?"

RekamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang