part 8

3.6K 115 7
                                    

ANDINI

Kepalaku pening, sebelah hidungku mampet, badan pegal-pegal dan sedikit demam. Hari ini aku sungguh sedang tidak enak badan, dan harus mengambil cuti. Huftt..

Pagi tadi, terlihat dari raut wajah 2 bersaudara tersebut kekhawatiran yang amat besar pada kondisi kesehatan ku. Apalagi Edgar, dia sampai meminjamkan selimut nya padaku. Saat ku pakai, ada semerbak aroma pria kecil yang membuat pikiranku kacau. Serasa di peluk bulat-bulat oleh pemilik selimut ini.

Astaga, sifat menjijikkan ku kambuh lagi.

Seharian ini, aku hanya bisa menonton TV di atas sofa. Sambil ditemani beberapa sisa potongan buah apel yang Andra buatkan untukku sebelum ia berangkat ke kantornya. Ahh... Membosankan.

Tok tok tok...

"Siapa itu?" Ujarku terkejut, ketika ada ketukan di pintu depan.

"Andini? Ini ibu, nak.." Teriaknya. oh, itu ibu. Ku kira siapa.

Dengan tubuh lunglai, berjalan kearah pintu dan membukakannya untuk Ibu. Saat ibu masuk, ia terlihat cemas sambil melihatku.

"Ya ampun, pucet banget kamu. Pasti kecapean ya?" Tanya Ibu sambil memegang dahiku, lalu ia membawaku kembali ke Sofa.

Kalau ku ingat kembali, ini adalah pertama kalinya ibu berkunjung ke sini. Rasanya senang sekali, sepertinya aku memang merindukannya.

"Udah sarapan?" Tanya Ibu lagi, sambil memeriksa beberapa mangkuk kosong di atas meja.

"Udah, bu. Itu mangkuk bekas buburnya masih ada. Tadi pagi Andra menyeduh bubur instan untukku."

"Hmm.." angguk ibu seolah paham.

"Sebentar ya, ibu bawa buah-buahan. Nanti ibu potongin buat kamu." Ujarnya sambil melangkah masuk ke dapur.

Aku rindu sekali suasana seperti ini. Sejak kecil aku memang jarang sekali sakit. Tapi sekalinya aku terserah flu seperti ini, ibu sangat khawatir dan ia akan merawatku dengan benar. Contohnya seperti sekarang. Ia bahkan mencucikan piring kotor dan mengurus pakaian kotor. Tapi, saat sudah dewasa seperti ini, aku malah malu melihat nya melakukan semua hal itu. Tapi mau bagaimana lagi, tubuhku masih belum bisa diajak kompromi.

Tak lama setelah itu, ibu kembali dengan sepiring potongan melon dan semangka, buah kesukaanku ketika sakit.

"Nih, makan lah yang banyak." Ucapnya sambil mencubit hidung ku lembut.

Tanpa basa-basi, aku segera mengambil potongan demi potongan buah segar dan manis tersebut.
Disaat aku sedang asyik makan, kulihat raut wajah ibu yang murung. Aku penasaran, apa yang ia sembunyikan dariku.

"Cerita aja, bu. Gapapa." Ungkapku sambil tersenyum kearahnya. Ia menghela nafas sejenak, lalu kembali melihatku.

"Bagaimana proses pendekatannya? Lancar kan?" Tanya ibu mulai membuka suara. Kuletakan potongan buah yang belum habis kumakan ke atas meja.

"Pendekatan aku dan Edgar ya?" Tanyaku meyakinkan. Ibu hanya mengangguk.

"Ya, bisa di bilang lancar. Tapi belum kelihatan ada perkembangan." Jawabku sambil tertawa renyah.

"Emangnya kenapa, bu? Kok tumben nanya kaya begitu."

"Semalam, setelah kamu telfon ibu, kemudian keluarga Edgar juga nelfon ibu." Raut wajahnya makin murung, aku jadi penasaran dengan apa yang mereka katakan padanya.

"Emangnya mereka ngomong apa?"

"Mereka menanyakan prihal perkembangan masa pendekatan kalian. Lalu ibu bilang kalau ibu juga belum tahu..."

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang