16. patah hati

1.3K 154 19
                                    

Kesialan kembali menimpah gue. Lagi-lagi harus kondangan sendiri. Ajakan dari bang Ian seperti mendapat kupon emas namun tanggalnya sudah lewat, hangus. Ada penyesalan dibenak gue, coba gue nggak bahas itu lagi, pasti gue dateng ada temennya.

Setelah ungkapan sayang yang belum gue mengerti artinya apa dari bang Ian, dia benar-benar hilang. Datang kestudio tepat pada jadwal dia siaran. Jadwal gue dan bang Ian memang sangat bertentangan buat ketemu, gue yang dapat jatah pagi sampe siang nggak bisa bertemu dia yang dapat jatah sore bahkan malam.

Gue coba mengirim pesan whatsapp ke dia, buat memperbaiki hubungan persahabatan kami, tapi hasilnya nihil. Lebih lagi whatsapp gue diblock sama bang Ian. Kejam!

Salah gue dimana coba?. Cantik ini menyiksaku Tuhan. Preet.

Masalah gue jadi banyak, belum lagi dengan Bang Akbar yang kemarin mendengar pembicaraan kami. Bang Akbar juga tiba-tiba berubah, boro-boro mau nyapa, noleh aja ogah dia. Dan yang gue sesali itu adalah letak salah gue dimana?

. . .

Sebelum gue berangkat, gue teliti dulu denah lokasi diundangan itu, nggak lucu kalo gue nyasar. Cantik-cantik nyasar. Mata gue iseng membaca sebuah nama yang nggak asing namun baru gue ketahui hari ini kejelasannya.

"Turut mengundang ... Akbar Bahrian, adik kandung. Akbar Bahrian? Nama bang Akbar, Akbar Bahrian?" Gue tergelak, gue kurang memperhatikan kawan sendiri, sampe namanya gue nggak tau.

Setibanya dilokasi, gue celingak-celinguk mencari orang yang gue kenali biar gue nggak kayak orang bloon disini.

Mata gue menangkap segerombolan orang yang gue kenal, anak-anak penyiar. Gue berjalan kearah mereka yang tampak tengah menikmati hidangan yang telah disajikan pihak panitia acara.

"Haii!!" Sapa gue mendekat.

"Eh Jul, sendirian aja lu?" Tanya mbak Bunga, dengan gamis panjang yang membalut tubuh bulatnya

"Iya mbak sendiri," lirih gue.

"Eh makan Jul, mumpung gratis," tawar mbak Fitri yang duduk disebelah mbak Bunga, nggak kalah cantik dengan setelan batik yang ia kenakan. Membuat keduanya terlihat anggun diusia yang nggak semuda gue tentunya.

"Tanggal tua ya Mbak," ledek gue.

"Nah iya, harus bersyukur Jul," kilahnya menaik-naikan alis.

"Yodah gue ambil dulu ya Mbak," ucap gue berlalu.

Gue menghampiri barisan makanan menggugah selera. Makanan berlemak, gurih, pedas, manis terdengar memanggil gue buat dimakan.

"Silahkan dinikmati Mbak," ucap seorang laki-laki dari arah belakang.

Tanpa intruksi gue menoleh cepat, sesosok pria tinggi menjulang dihadapan gue, ganteng. Mulut gue terbuka menampakan dua gigi paling depan dan mata sedikit melebar melihat ketampan orang tersebut yang ternyata adalah bang AKBAR.

Gue menelitih penampilan bang Akbar dengan batik lengan pendek, celana dasar hitam, rapih, ganteng, oh my god!

"Juli sehat?" Tanyanya melambaikan tangan didepan muka gue.

"Hah?" Gue menutup mulut, menelan ludah susah payah.

"Kamu cantik," puji bang Akbar.

Gue tersenyum sebagai ucapan terima kasih.

"Silahkan dinikmati ya," ucapnya sebelum berlalu.

Gue menggigit jempol, baru gue sadari gue dikeliling cowok-cowok ganteng, ini namanya keberuntungan berlipat ganda, gue musti banyak-banyak bersyukur.

JOMBLO SAMPAI HALALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang