Entah kenapa akhir-akhir ini gue jadi merasa kesepian didalam keramaian. Biasanya hari-hari gue penuh warna, canda dan tawa bang Ian selalu menyertai hari-hari gue, Belum lagi senyuman ramah bang Akbar yang buat gue mendadak mencium aroma syurga itu hilang seketika. Semuanya umpama Atlantis yang hilang, penuh misteri. Kalo Atlantis, konon hilangnya karna bencana alam, lah ini? Bencana hati. Tapi semuanya masih menjadi teka-teki.
Gue jadi males kerja, jadi nggak semangat. Semuanya hilang, itu artinya mereka mengusir gue dari peradaban hidup mereka. Gue bakal mengundurkan diri dan mencari kerjaan lain. Walaupun gue tau, cari kerja itu nggak segampang sakit maag gue yang kalo nggak makan langsung kambuh. Tapi mau gimana lagi, gue merasa terasingi.
Gue membuka kembali berkas-berkas gue. Gue berniat mengecer CV disepenjuru tempat yang menyediakan lowongan kerja. Saat gue mengambil sebuah kardus yang berisi lembaran kertas diatas lemari gue, selembar kertas dengan seni lipat kertas membentuk perahu kertas menimpa kepala gue, lanjut jatuh kelantai kamar gue. Gue letakan kardus yang gue ambil, beralih mengambil kertas itu.
"Apaan nih?" Gumam gue pelan.
Ada tulisan sebuah alamat disalah satu sisi perahu dari kertas itu, bukan cuma itu, juga ada inisial nama pemiliknya 'A.B'. Kening gue berkerut heran. "Punya siapa?" Tanya gue bingung.
Gue coba ingat-ingat lagi dari mana kertas ini datang. "Ooooooh," gue ber-oh panjang setelah menemukan jawabannya.
Sebuah kertas yang iseng gue ambil sewaktu main dihari aniversarry-nya Taya dan Andra yang ke-2 tahun, sekitar 3 bulan yang lalu. Gue juga ingat kalo gue pernah bilang akan mengunjungi alamat itu.
Gue berbaring dikasur sambil bernostalgia, cekikikan sendiri macam orang gila. Gue baca alamat itu sekilas, terdapat keanehan di alamat itu. Gue baca lagi pelan-pelan. "Hah? Ini 'kan alamat rumahnya bang Akbar?!" Pekik gue.
Gue ambil undangan mbak Dhea minggu lalu, mencocok alamat tersebut dengan alamat rumah mbak Dhea yang tertera didenah lokasi pada undangan. "Cocok!!!" Pekik gue lagi.
"Jadi ...," pikiran gue melanglang buana diiringi tawa geli.
"Tunggu ... belum tentu bang Akbar sih, bisa aja kakaknya atau ...," gue menjeda kalimat, bercerita dan menerka sendiri.
Gue mengangguk mengerti, besok gue harus ketemu bang Akbar untuk kejelasan tentang hal ini.
. . .
Pagi ini seperti biasa, gue berangkat pagi-pagi bareng sama Dwi dan Tri yang juga mau berangkat sekolah. Setelah berpamitan gue langsung melajukan motor membelah jalanan yang tampak mulai macet dipenuhi berbagai kendaraan yang didominasi para pelajaran menaikinya.
Setelah sampai dan memarkirkan motor, gue langsung masuk ke dalam studio. Sebenarnya gue dapat jadwal siaran pukul 10:00, tapi biasanya gue dan bang Ian ngegosip dulu sebagai sarapan pagi. Tapi kali ini tujuan gue beda lagi, gue mau kejelasan yang jelas. Karna bang Akbar hari ini dapat jadwal dari pukul 06:00 sampe pukul 08:00 gue harus dateng pagi biar ketemu tuh orang. Ketemu bang Akbar diluar studio itu seperti keajaiban, jadi jarang bahkan nggak pernah bisa ketemu dia diluar studio.
Belum juga kaki gue menapak didalam studio, gue disambut dengan kemunculan Dion, salah satu penyiar yang jarang tampak berada distudio siang hari. Sebab Dion adalah mahasiswa baru yang menghabiskan siangnya dikampus, jadi dia mendapat tugas dimalam hari, kalong.
"Eh lu Ion? Tumben?" Tanya gue setelah saling memandang.
"Iya mbak, abis ngisi," balasnya tersenyum.
"Lho? Bukannnya bang Akbar?" Tanya gue lagi. Setau gue belum ada perubahan jadwal.
"Harusnya iya, tapi semalam bang Akbar whatsapp gue ngajak tukeran jadwal. Hari ini dia mau sidang skripsi," jelas Dion detail.
KAMU SEDANG MEMBACA
JOMBLO SAMPAI HALAL
HumorJomblo? Satu kata sarat hinaan ya guys. Kenapa nggak pacaran? Nggak laku? Nggak ada yang mau? Dihhh tsadest!!! Bukan nggak laku, cuma lagi nyari yang mau langsung menghalalkan. Eaaakkkk. Kalo ada CEO ntar yang lamar gue, kelar idup lu :v