17. Ungkapan

1.2K 158 17
                                    

"Jul jangan nangis," ucap bang Ian memelan.

"Lu yang kenapa?" Balas gue kembali sesegukan. Gila ya gue segininya nangis.

"Lu marah karna gue nggak bilang mau resign?" Tanya bang Ian tanpa gue respon.

Bang Ian membuang tatapannya kearah lain. Menarik nafas dalam dan kembali menatap gue. "Maaf Jul, abang nggak cerita masalah resign sama lu," ungkapnya.

"Kenapa? Lu bilang lu sayang sama gue!" Pekik gue tersulut emosi. Akhirnya gue ungkap juga masalah rasa sayangnya.

Bang Ian natap gue dengan senyuman, meraih tangan gue yang langsung gue tepis. "Bukan muhrim," protes gue.

"Kode minta dimahramin?" Tanyanya dengan tatapan iblisnya.

"Ogah!" Tolak gue mentah-mentah.

"Tunggu disini bentar ya," titah bang Ian berdiri.

"Lu mau kemana?" Tanya gue mendongak menatapnya yang semakin menjulang dengan posisi duduk ini.

"Tunggu aja," pintahnya sebelum beranjak.

Bang Ian berlari keseberang jalan, masuk kesebuah minimarket. Mungkin beliin gue tisu.

Tak lama berselang ia kembali membawa benda yang ada didalam kantong plastik putih dengan gambar logo minimarket itu.

"Lu beli apaan?" Tanya gue setelah ia sukses duduk disamping gue.

Bang Ian masih senyum-senyum, ia mengeluarkan sepack tisu dan mengansurkannya ke gue.

"Tuh elap ingus lu," ledeknya.

Ini juga gara-gara lu!

Gue sibuk mengelap sisa-sisa kesenduan yang gue tumpah ruahkan beberapa waktu yang lalu. Gue lirik bang Ian membuka seperempat bungkus ice cream yang ternyata ia beli diminimarket tadi.

"Nih," ucapnya menyodorkannya kegue.

"Gue?" Tanya gue menunjuk ke diri sendiri.

"Iya Juli,"ucapnya mulai kesal.

"Tumben lu baek? Mau mati?" Tanya gue asal mulai menjilati ice cream pemberiannya.

"Gila ya lu, ngomong asal bunyi aja," protesnya.

"Ya kali aja,"jawab gue asal.

"Enak?" Tanyanya menyindir.

"Enaklah gratis," sahut gue menyenggol bahunya.

"Trus?" Tanyanya macam nagih utang.

"Ya makasih," balas gue nyengir.

"Cium," ucapnya dengan telunjuk mengetuk-ngetuk pipi.

Gue tampar sayang pipinya, membuat siempunya menatap gue.

"nggak waras emang lu ya," protes gue. "Ini gue balikin," gue kasih ice cream yang cuma tinggal bungkus.

"Lu yang kelewat saraf," protesnya membuang bungkus itu ke gue.

"Kalo lu nggak waras dan gue saraf, jadi kita?" Tanya gue sok serius.

Kami saling melempar pandang sebelum akhirnya melepaskan tawa pecah yang akhir-akhir ini menghening.

"Udah baikan?" Tanya bang Ian ketika tawa kami mereda.

"Belum, sebelum ...," kalimat yang gue ucap menggantung. Apa perlu gue pertanyakan perihal kata yang ia ucapkan sebelum menghilang kemarin?.

"Sebelum apa?" Tanya bang Ian mengerutkan keningnya heran.

JOMBLO SAMPAI HALALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang