"Tesya, yuk salat!" ajak Syafira kepada Tesya di jam istirahat kedua di hari Kamis.
"Enggak, ah ... duluan aja. Aku lagi pusing," jawab Tesya dengan malas sambil menempelkan pipinya di atas meja.
"Justru kalau kita salat, sebesar apa pun masalah atau pusing kita, perasaan dan jiwa akan lebih tenang," ceramah singkat Syafira itu membuat keadaan menjadi senyap. Terlihat Tesya hanya berdiri sambil menunduk tanpa mengucap satu patah kata pun. Syafira melengkungkan senyum, menatap mata Tesya dan berkata, "Untuk sekarang kita salat zuhur dulu, nanti aku siap dengerin apa pun yang mau kamu ceritain. Siapa tahu aku bisa bantu buat ngeringanin pusing kamu, kalau pusingnya bukan karena sakit kepala."
Tesya mengangkat kepala dan membalas perkataan Syafira dengan nada tinggi, "Orang suci kayak kamu, yang punya keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, mana bisa tahu apa yang aku rasain!"
Syafira terkejut dan mundur selangkah karena tak menyangka mendengar Tesya membentak seperti itu. Ia bertanya, "T-Tesya ... kenapa? A-aku bukannya sok suci atau apa, aku cuma ngajak kamu kepada kebaikan. Kamu sendiri, kan, yang minta ke aku, untuk ngingetin kamu salat."
Tesya menggertakkan gigi dan mulai membentak lagi, "Percuma aku salat, Allah nggak pernah ada buat nolong aku!"
Syafira mulai membalas dengan nada tinggi, "Tesya, istigfar! Kamu sadar kamu ngomong apa? Kamu aja yang nggak sadar pertolongan Allah itu ada di setiap detik hidup kamu! Termasuk orang-orang terdekat kamu yang ngingetin buat kebaikan. Apa kamu nggak takut kena azab Allah udah ngomong gitu?"
"Akh ... diem, Orang Suci! Pake ngaku-ngaku jadi orang terdekat aku. Padahal kamu nggak kenal siapa aku sebenernya!" bentak Tesya sambil mendorong mejanya.
"Terus maksud kamu deketin aku dulu dan ingin menuju kebaikan itu buat apa? Sia-sia aja sekarang aku di sini memenuhi permintaan kamu!" balas Syafira.
Tesya tertawa sinis, "Makannya jadi orang jangan terlalu so-le-hah! Kamu belum sadar juga, aku deketin kamu itu bukan buat jadi orang suci yang gampang ditipu! Kamu itu sekadar batu loncatan aja buat deketin kakak kamu!"
Pertengkaran itu terus berlanjut.
Sebenarnya mereka tidak usah memulai pertengkaran yang percuma di siang hari, hanya karena seseorang sedang tidak mau diajak kepada kebaikan. Cukup dengan memperingatinya, tanpa harus memaksa atau menjadi 'sok peduli' dengan tatapan dan wajah manis. Alasan Tesya mengincar Kakak Syafira, berniat menjadi antagonis juga sangat terlihat bohongnya. Keributan antar sahabatku Syafira dan Tesya terjadi tepat di depanku, di bangku baris pertama paling kiri. Ya, aku duduk di baris kedua di belakangnya.
Suasana di kelasku saat itu cukup menegangkan, tak sedikit pula yang berusaha melerai pertengkaran tersebut, tetapi jika sudah ada kejadian di mana perempuan bertengkar dan beradu mulut, semua orang bahkan laki-laki sekalipun merasa tidak berdaya untuk menenangkan mereka.
Siswa-siswi yang masih berada di kelas sebanyak 23 orang itu menatapku dengan pandangan meminta pertolongan sekaligus kecewa. Wajah mereka seperti berkata, "Fia, kamu, kan, sahabat mereka, tolong tenangkan mereka berdua, ya?" Dan berkata, "Nggak nyangka, sahabat deketnya malah asyik main hp, pake headset pula, waktu temennya berantem di depannya. Itu yang namanya sahabat?"
"Jika aku bisa, aku juga akan menghentikannya," gumamku membalas perkataan yang tersirat di muka mereka.
Ya, namaku Fia, Shafia Indah lengkapnya, dan asalkan mereka tahu, seorang Shafia Indah sahabat terdekat Tesya dan Syafira ini, beranggapan bahwa amarah manusia itu ketika memuncak tidak akan bisa diredam, kecuali mereka meredamnya sendiri. Bahkan mungkin pertengkaran seperti ini bagus untuk mereka, di saat marah mereka akan lebih jujur dengan perasaan mereka. Ketika pikiran mereka mulai dingin, mereka akan mulai memahami perasaan sahabatnya. Justru pertengkaran adalah awal kedewasaan persahabatan.
Perkataan itu hanya terpikir dan berputar-putar di kepalaku, sangat merepotkan jika harus dikatakan hanya demi mempertahankan sebuah ideologi yang sekiranya bukan hal yang harus diperdebatkan, buang-buang energi saja.
Biarkan mereka, dan biarkanmereka menikmati hasilnya, itu yang kupikirkansekarang ini dengan tampang yang dingin menurut mereka. Sayangnya, aku sudahtidak peduli dengan kata 'menurut mereka'.
Sakinah, mawaddah, warahmah : Damai, penuh cinta dan kasih
-----------------------------------
Catatan author :
Ini dulunya kisah ReMind. Naskahnya baru direvisi menjadi lebih solid, menarik, dan menghilangkan beberapa plot hole. Disarankan untuk membaca ulang, karena banyak banget yang diubah/dirombak ulang.Semua ini hanya fiksi, jika ada kesamaan nama, tempat dan kisah, itu hanya kebetulan belaka.
Kisah ini saya buat di tahun 2016, udah lama sekali ya.
Jangan ada yang copast yak! Ini buatnya bener-bener mikir mengerahkan seluruh isi pikiranku :>
---------
Selamat menikmati :> Happy Reading!
___________
Ngomong-ngomong, tidak merasa asing dengan si Bayangan :> ?
_________
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Waktu (END)
Teen FictionHeran, ketika melihat teman-temanku memulai pertengkaran perihal ibadah. Padahal hubungan kami awalnya baik-baik saja. Entah pikiran negatif apa yang membuatku berpikir, andaikan tidak ada perbedaan yang menjadi biang pertikaian, terutama agama. Nam...