(14) Sadar

90 12 0
                                    

Tiba-tiba, aku terbangun dengan teriakan kencang di tempat duduk paling belakang dalam kelas, bukan di kursiku. Semua orang yang berada di sana berjumlah 23 orang, 13 perempuan dan 10 laki-laki melihatku dengan tatapan heran. Kecuali seorang cowok yang sering melirikku, ia malah melangkah pergi lewat pintu dengan santainya.

"Fia, kamu kenapa?" tanya Syafira yang mungkin melihatku sedang menangis, karena aku merasakan cairan bening membasahi kedua pipi.

"Ini di mana? Kapan?" tanyaku memastikan keadaan.

"Kamu kenapa? Ini di kelas. Anak cowok baru beres jum'atan," jawab Syafira.

Aku berhasil kembali ke masaku, di hari yang sama saat aku tenggelam dalam gelembung-gelembung itu. Semua orang heran dan bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Aku ingin sekali menjawabnya, tetapi pasti tidak akan ada yang percaya bahwa aku telah menjelajahi waktu dan melihat masa depan.

"Tesya! Syafira! Maafin aku, maafin aku, maafin aku!" berulang kali kuucapkan kata-kata maaf itu sambil menutupi wajah yang bercucuran linangan butir kesedihan. Tidak ada respons dari siapa pun, bahkan dari Tesya dan Syafira. Hanya ada suara tangisan dan cegukanku.

Aku beranjak dari tempat duduk, bermaksud untuk menghampiri serta memeluk mereka berdua. Namun, mendadak tubuh ini lemas, jiwa pun lelah, seolah tubuh meminta untuk istirahat pada saat itu juga.

"Fia! Fia!" Terdengar samar suara menghampiriku yang terjatuh ke lantai.

<><><>

Perlahan kedua kelopak mata ini melepas pelukannya, aku sadar telah terbangun di rumah. Kata ibuku, aku pingsan seharian. Teman-teman dan wali kelas membawaku ke rumah, mengantarku dengan mobil sekolah. Orang tua dan adik-adikku sangat khawatir, tetapi aku bilang aku tidak apa-apa.

"Kak! Syukurlah kakak udah pulang," ucap Nia adik pertamaku, seraya memeluk erat.

Pada saat aku terbangun, itu sudah pukul 11.00 malam, teman-teman yang mengantarku juga sudah pulang, kecuali Syafira dan Tesya, mereka tertidur di lantai kamarku. Aku hendak membangunkannya, tetapi mereka terlebih dahulu sadar dan langsung memelukku. Sangat senang mempunyai sahabat seperti mereka, yang selalu menemani bukan di saat senang saja, melainkan di saat sedih seperti ini.

"Tesya, sebelum aku lupa ... aku mau bilang bukti kasih sayang Allah itu ada di tiap kehidupanmu," ucapku.

"Ah, yang waktu itu," tanggap Tesya.

"Bukti kasih sayang Allah, adalah kesedihanmu."

Tesya dan Syafira yang mendengar ucapanku itu, tentu merasa kebingungan.

"Bentar, belum beres." Kebiasaanku membuat mereka bingung dengan kalimat terpotongku. "Karena, kesedihan itulah yang membuat rasa bahagia tidak lagi hampa. Kita bisa bahagia, karena sebelumnya kita tahu apa itu kesedihan. Sebagaimana Allah ngasih ujian ke manusia dengan cobaan yang bahkan kita anggap terlalu berat, padahal Allah ngasih cobaan nggak akan melebihi kemampuan hamba-Nya. Tapi, kalau kita lulus melewatinya, maka kualitas diri kita tentu meningkat, menjadi lebih kuat secara hati dan pikiran. Ujian Allah, itulah kasih sayang terbesar untuk hamba-Nya. Bukti, kalau Allah perhatian dan ingin kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri."

"Seperti biasa, kata-kata kamu itu selalu nggak ketebak," balas Syafira.

"Fia, makasih. Makasih banget. Tenang aja, aku nggak bakalan keluar dari Islam," tanggap Tesya mengusap-usap matanya.

"Alhamdulillah," ucap syukurku. "Ngomong-ngomong, bukannya kalian lagi berantem? Kok barengan?"

Mereka berdua tersenyum malu, mendengar pertanyaanku.

Gelembung Waktu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang