Keesokan harinya di sekolah, aku dikejutkan kembali dengan kejadian aneh.
"Fia, ke sini!" panggil Syafira.
"Ada apa?"
"Pokonya ke sini aja! Itu bener adik kamu, bukan?"
Aku bergegas keluar ruangan dan melihat Nia sedang dibopong oleh PMR menuju UKS, karena kaki kirinya berdarah. Untungnya luka di kakinya tidak begitu parah, hanya tergores sedikit. Tentunya, banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan padanya. Tetapi sebelum itu, Nia memaksaku untuk mengantarnya ke ruang kelasku.
Setelah masuk ke ruangan kelas, Nia menunjuk kursi milik Mar dan berkata, "Kak, Bayangan datang lagi. Padahal udah dua tahun Nia nggak bisa lihat si Bayangan. Tapi, dia muncul lagi di sana."
Walaupun Nia mengaku melihat si Bayangan, aku tetap tidak bisa melihatnya.
Aku menariknya ke luar ruangan kelas, memegang pundaknya dengan kedua tanganku dan memastikan, "Apa yang kamu bilang tadi? Kamu ngelihat Bayangan di kursi itu?"
"I-iya," jawabnya ragu.
Adikku merasa ketakutan, hingga ia terdiam dan tidak meneruskan jawabannya. Karena jam pelajaran sudah dimulai, dan guru sudah tiba, aku pun masuk dan membiarkan PMR merawat Nia di UKS.
Ketika aku menghampiri Nia di ruang UKS pada pergantian jam pelajaran kedua, ia mengaku tidak enak badan dan meminta izin pulang. Aku pun menelepon Ayah untuk menjemputnya.
Sambil menunggu Ayah tiba, aku menergurnya, "Nia, kan, Kakak udah bilang, sebaiknya kamu jangan terlibat lagi sama si Bayangan! Abaikan aja! Kamu bisa kehilangan nyawa loh."
"I-iya. Aku nggak bakalan lagi ngobrol sama si Bayangan."
"Ngomong-ngomong, kenapa kaki kamu berdarah? Habis dari mana?" tanyaku.
Nia memalingkan wajahnya dan tidak langsung menjawab.
"Hallo Nia! Kakak nanya."
"Bukan apa-apa."
"Kamu ya ... ya, udah terserah!" Ayahku pun tiba dengan motir matic-nya dan membawa Nia pulang.
Tesya bertanya mengapa adikku bisa terluka, aku bingung menjawabnya karena Nia sendiri tidak mau bercerita.
"Mungkin si Mar tahu. Soalnya dia yang pertama kali lihat adik kamu dan yang manggil PMR," ujar Syafira.
Aku mempunyai firasat buruk akan hal ini.
Tiba-tiba, Syafira bertingkah aneh, matanya melirik-lirik, menengok ke kanan dan kiri, dan sesekali ia memejamkan mata. Ia bertingkah seolah ketakutan, seperti sedang diperhatikan oleh orang lain. Apa jangan-jangan, Syafira sedang diperhatikan oleh si Bayangan?
Di sisi lain, aku terus memperhatikan Mar. Walaupun aku tidak sedikit pun menaruh rasa curiga terhadapnya, tetap saja mata ini selalu memperhatikannya. Terlebih lagi posisi kami duduk memang bersebelahan, aku duduk di belakang paling sudut dan Mar duduk di baris kedua, sehingga hanya membelokkan mataku ke arah kanan sedikit, aku bisa melihatnya. Tidak ada hal mencurigakan yang ia lakukan saat ini, hanya duduk dan memperhatikan pelajaran berlangsung.
"Bu Nita, izin ke toilet," pinta Syafira. Ia juga mengajakku untuk menemaninya. Kami pun diberi izin lima menit.
Setelah menunggunya di pintu toilet beberapa saat, Syafira pun keluar.
"Fia, kata kamu aku baik-baik aja nggak?" tanya Syafira.
"Baik kurang baik sih. Kamu kelihatan sehat, tapi ... kok kayak cemas gitu. Ada apa? Kenapa?" Aku balik menanyainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Waktu (END)
Teen FictionHeran, ketika melihat teman-temanku memulai pertengkaran perihal ibadah. Padahal hubungan kami awalnya baik-baik saja. Entah pikiran negatif apa yang membuatku berpikir, andaikan tidak ada perbedaan yang menjadi biang pertikaian, terutama agama. Nam...