(22) Pindah

38 7 0
                                    

Syafira melanjutkan ceritanya, bahwa ia dan Izal selama delapan tahun lebih tinggal di rumah mertua, atau masih di rumah orang tuanya Syafira. Aku kagum dengan keluarga kecil ini yang bisa rukun ketika tempat tinggal masih bersama orang tuanya. Padahal jika itu orang lain, mereka mengaku tidak kuat tinggal bersama mertua, karena terlalu banyak tekanan batin.

Hingga, ketika tabungan Izal sudah cukup dan kebetulan ada teman sepengajiannya sedang kesusahan, Izal pun membeli rumah dari temannya itu. Karena Izal dan Syafira tidak kuat mendengar temannya mengaku terlilit hutang yang sangat besar dan butuh dana cepat, walau terpaksa menjual rumahnya itu demi melunasi hutang.

Jarak rumah barunya pun hanya sekitar 15 kilometer. Sebenarnya, kepindahan rumah itu menguntungkan bagi Izal, karena rumah barunya itu sangat dekat dengan perusahaan tempat ia bekerja. Sehingga tidak perlu lagi menggunakan kendaraan, hanya dengan berjalan kaki sekitar 10 menit saja, ia sudah sampai di perusahaan. Rumahnya pun memiliki halaman luas, tidak berdekatan dengan rumah tetangga, mungkin merupakan rumah pertama yang dibangun di blok ini.

Sejenak Syafira terdiam, hanya detik jam saja yang berdetak memecah keheningan malam. Ia seolah tidak mau melanjutkan kisahnya itu, aku rasa wajar. Mungkin di sini adalah puncak penderitaan, mungkin di bagian kisah ini ia kehilangan segalanya.

"Syafira, mau denger kisahku?" tawaranku memecah suasana senyap itu.

Iya menyetujuinya dan mulai mendengarkan kisahku tentang melompati masa depan. Aku menceritakan semua dari awal hingga akhir. Mengenai si Bayangan yang mulai menghantuiku di saat kami semua bertengkar, aku pergi ke tempat yang sangat gelap, tenggelam di kolam aneh yang terbalik, melihat gelembung-gelembung ingatan dan bertemu Laila di masa depan, di tahun 2085.

Selesai bercerita, Syafira langsung menanggapi, "Jadi selama ini kamu mendam semuanya sendirian? Jadi, sewaktu kamu nangis minta maaf nggak jelas itu gara-gara ini? Fia! Ini udah dua tahun lewat loh, dan kamu baru cerita sekarang? Kamu percaya nggak kita itu sahabatan?" Ia mengungkapkan hal itu dengan nada marah nan cemas.

"Justru itu, kalian itu sahabat terbaik yang aku punya, sehingga aku terus berencana merangkai kata atau mencari waktu yang tepat buat nyeritain ini semua. Aku, cuma bingung gimana ngejelasinnya. Lagian emangnya kalian bakalan percaya gitu aja?" tanyaku. "Aku takut, kamu atau Tesya nggak akan percaya tentang ceritaku ini. Nggak ada sedikit pun niatan untuk memendam apa pun."

"Tapi, seenggaknya, kamu cerita sama kita. Kamu ceritain siapa itu Laila ke kita." Syafira memelukku. "Aku tahu kamu waktu itu sedih banget, kehilangan Laila di masa depan. Kenapa kamu nggak membagi rasa sakit itu ke kita? Terus kamu pendam sendirian? Jangan sok kuat, Fia! Jangan sok dewasa, kamu cuma anak SMA biasa!"

Aku tidak marah jika ia terus menegur dan memarahiku, karena semua yang dikatakannya itu benar. Ditambah dengan hangatnya pelukan ini, yang mempunyai makna tersembunyi. Di pelukan ini ia khawatir padaku, tapi di sisi lain ia menyimpan rasa sakit hati yang mendalam karena telah menjadi korban si Bayangan, yang sama denganku.

"Syafira, sekarang giliran kamu. Nyeritain semua rasa pedih itu, ya?"

"Nggak mau!"

"Ha?"

"Nggak mau, aku nggak mau lagi ngelihat keluarga aku meninggal dengan tragis di depan mataku. Semuanya terlalu mendadak, aku ... aku bingung gimana ngejelasinnya."

Aku tidak bisa memaksanya untuk menceritakan lebih lanjut, lagi pula waktu sudah hampir tengah malam dan detik jam sudah menyuruh kami untuk tidur. Untuk saat ini, sudah jelas bahwa ia telah kehilangan keluarganya di sana. Pasti, ini sangat mengganggunya, karena berpikir antara asli atau tidak kejadian ini, berpikir bahwa masa depan seram itu akan datang atau tidak, pasti membuatnya bingung dan gundah.

Gelembung Waktu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang