Ah, betapa malunya aku mengatakan itu pada Fia. Tetapi, itu mungkin bisa menjadi kenangan manis terakhir, setelah aku menyelasaikan semua ini. Aku pun mengambil tas, lalu pergi meninggalkan Fia sendirian di kelas pada pukul 05.00 sore, menuju pohon di belakang sekolah. Pohon yang menjadi dasar eksistensi si Bayangan di semesta ini.
"Yo! Bayangan, tinggal aku sendiri di sini. Kenapa nggak keluar aja?" ucapku.
Bayangan itu terpancing oleh perkataanku, lalu muncul dari batang pohong dengan wujud hanya sebahu, dan mukanya menyerupai wajahku. "Ada apa, Mar? Atau versi diriku di semesta ini," tanya Bayangan dengan seringai seram di mulutnya.
"Gimana caranya aku bisa bunuh diri sendiri?" tanyaku dingin.
"Wow ... pilihan putus asa rupanya yang kau ambil. Akan sangat sulit untuk membunuh dirimu sendiri, karena jantung di dalam dirimu adalah jantung terkuat yang tidak akan membiarkan penggunanya mati begitu saja, dialah jantung legendaris Raby" balas si Bayangan.
"Ya tahu. Aku udah tahu kalau aku cuma sebatas mayat, yang pernah mati waktu kecil dan diberi jantung ini oleh si Orkanois, biar bisa hidup lagi," ucapku menyentuh dada, "dan malah jadi terlau kuat."
"Apa tidak mau lebih lama hidup, untuk memberantas seluruh kejahatan di muka bumi ini? Kau mempunyai kekuatan yang diluar nalar manusia biasa dan bahkan bisa menjadi Superman di dunia nyata yang busuk ini," goda si Bayangan.
"Hemph ... percuma kalau pada akhirnya malah bernasib sama jadi bayangan borok tukang hasud. Mending mati sekarang juga," balasku meremehkan tawarannya.
"Hahaha, rupanya kau tidak senaif aku. Boleh juga," puji si Bayangan. "Tapi, asal kau tahu, walaupun kau mati ... sesudah itu jiwamu tetap akan jadi Bayangan sepertiku. Hahahaha."
Aku tidak menjawabnya langsung. Diam sejenak untuk menarik beberapa helaan napas. "Dari kecil, aku dididik oleh ibuku untuk berkata-kata baik, santun, dan tidak kasar." Kukepalkan tangan sekeras mungkin, "Tapi, buat Bayangan anjing kayak lu! Ibu pasti ngemaklumi gua ngomong kasar!" Aku hantamkan pukulan sekeras mungkin ke wajahnya, secara bertubi-tubi, "Bangsat lu anjing! Mati lu Bayangan, borok!"
"Pewcuma shaja! Aku mati pun kau akan tetaph mewnjadi spwertiku, hwhahha," ucapnya tidak jelas, karena mulutnya sedang kuhujani dengan pukulan.
"Diem lu, bangsat!"
"Hanya sehdikit saran. Apakah kawu sudah mengutwarakan perasaanmuh kepada Fiya? Tidak ghagal sepertiku dwulu?"
Aku berhenti memukulinya setelah darah hitam membalut tangan kananku.
"Haha, sepertinya sudah. Baguslah," ucap Bayangan.
<><><>
Entah imajinasiku atau aku salah dengar, kuping ini seperti mendengar suara Dug! Dug! Dug! berulang kali dari luar kelas. Suara itu berulang kali terdengar, seperti suara orang yang memukuli tembok dengan sangat keras. Setiap kali suara itu terdengar, hati ini terasa sangat sakit, seolah hati ini menjadi samsak atas suara pukulan tersebut. Sakit, sakit sekali. Seolah kesadaranku telah diambil oleh suara itu, membuatku tidak sadar bahwa sekarang sudah pukul lima sore. Mungkin sebaiknya aku segera pulang, aku pun mengambil tasku dan beranjak dari kursi. Hingga akhirnya suara itu pun berhenti.
Aku berjalan sambil tertunduk lemas, langkahku lunglai tak menentu arah. Hingga aku melihat Mar sedang berada di dekat pohon.
"Mar!"
Dari kejauhan, aku melihat Mar menghunuskan pedangnya tinggi, lalu menebas pohon besar itu hingga tumbang. Ia letakkan pedangnya ke tanah dan menunduk lemas. Perlahan asap hitam dan aura gelap muncul membalut tubuhnya, hingga membuat dirinya melayang setinggi 30 centimeter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Waktu (END)
Teen FictionHeran, ketika melihat teman-temanku memulai pertengkaran perihal ibadah. Padahal hubungan kami awalnya baik-baik saja. Entah pikiran negatif apa yang membuatku berpikir, andaikan tidak ada perbedaan yang menjadi biang pertikaian, terutama agama. Nam...