"Bolehkah aku menanyakan beberapa hal?" tanyaku yang masih bersamanya di alam mimpi.
"T-tentu saja, maaf aku lupa untuk menjelaskannya terlebih dahulu padamu."
"Bukan masalah. Baiklah ... pertanyaan pertama, anak kecil itu siapa? Apakah itu dirimu?" tanyaku menunjuk anak perempuan murung yang diam saja, tidak beranjak pergi sama sekali.
Laila memulainya dari anak kecil itu, anak itu merupakan dirinya sewaktu kecil. Perkataan anak itu mempunyai arti bahwa ia dibesarkan oleh ayahnya, akan tetapi kasih sayang seorang ibu selalu ia rasakan. Yang membuat ia begitu sedih, karena ia belum pernah sama sekali melihat "matahari" yang selalu memberinya kehangatan sedari kecil. Mungkin, tanpa ia jelaskan, aku sudah mengetahuinya. Mengingat aku dibesarkan dengan keluarga utuh dan selalu rukun, membuatku menaruh simpati tinggi pada semua anak yang tidak memiliki keluarga utuh, terutama Laila yang sedang berada di hadapanku ini.
"Kedua, apakah semua ini ulah si Bayangan, atau ulahmu? Maksudnya, apa di masa sekarang udah ada mesin buat time travel?" tanyaku singkat.
"I-iya, semua jawabannya 'iya'. Maksudku ulah si Bayangan, bukan ulahku," jawabnya. Ternyata dia cukup kikuk, mengingatkanku pada seseorang saja.
Aku memintanya untuk menjelaskan lebih detail mengenai semua fenomena ini.
Akan tetapi, belum sempat berbincang dan menjelaskan fenomena ini lebih lanjut, aku merasa tubuh ini akan terbangun.
Sebelum terbangun, Laila sempat mengatakan bahwa fenomena ini akan membuat kami merasakan perasaan yang sama, rasa sakit ataupun rasa bahagia akan dirasakan bersama-sama. Ketika tubuh ini terbangun dari tidurnya, kami tidak akan bisa saling berkomunikasi, tetapi kami bisa bertemu dan saling berbicara ketika tubuh ini tertidur. Namun, terkadang aku bisa mengambil alih tubuhnya jika ia lengah. Itu sebagian yang dikatakan oleh si Bayangan tentang fenomena ini. Walau sebenarnya pertanyaan yang aku maksud adalah sebabnya, bukan tata cara melaksanakannya. Tetapi, informasi itu cukup untuk menenangkanku saat ini.
Di akhir perkataannya, ia menyuruhku untuk memperhatikan setiap detik kehidupannya, ia memintanya dengan sangat serius. Walau tanpa harus diminta pun, aku pasti akan memperhatikannya, demi mencari tahu maksud dari semua ini. Lagi pula melihat masa depan yang menyenangkan itu impian semua orang.
<><><>
"Alarm berbunyi di kamar Laila membangunkannya dari tidur nyenyak dan mimpi indah, memulai pagi yang cerah dengan berbagai cerita menanti." Itulah narasi yang aku rasa canggung sekali untuk dibaca. Keseharian gadis ini sama dengan keseharian gadis pada umumnya, diawali dengan membersihkan diri, lalu mendirikan salat subuh. Setelah ia memakai seragam sekolah, ia menyantap sarapannya. Dengan adanya rumah pintar, tentu semua menjadi praktis dan tidak usah terburu-buru di pagi hari.
Laila kini duduk di kelas satu SMA di salah satu sekolah negeri. Karena jarak sekolahnya hanya sekitar 1 kilometer, ia tidak membutuhkan kendaraan untuk berangkat ke sekolah, cukup berjalan kaki dari rumah. Di perjalanan, ia bertemu dengan teman-teman. Pembicaraan yang disuguhkan oleh teman-temannya sepanjang jalan pun sama persis dengan pembicaraan anak sekolah pada umumnya. Membicarakan seputar PR, pelajaran sekolah, acara televisi, tranding topic di sosial media, film-film terbaru, dan sebagainya. Hanya saja, aku merasa ada yang janggal dalam pembicaraan tersebut, yakni tidak adanya perdebatan kecil seputar bedanya pendapat seseorang dengan seseorang lainnya yang sudah menjadi hal yang wajar di sebuah pembicaraan, seolah mereka selalu setuju dan sangat mudah mentolerir sebuah perbedaan.
Ketika ku perhatikan, di antara enam orang teman perempuannya itu, ada salah seorang yang mengatakan jilbab yang dipakai Laila adalah penutup kepala. Setidaknya mereka bisa mengatakan ini kerudung atau apa, atau mengejek dan menyindirnya, karena itu hal yang biasa dilakukan bagi orang yang tidak memakai kerudung bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Waktu (END)
Novela JuvenilHeran, ketika melihat teman-temanku memulai pertengkaran perihal ibadah. Padahal hubungan kami awalnya baik-baik saja. Entah pikiran negatif apa yang membuatku berpikir, andaikan tidak ada perbedaan yang menjadi biang pertikaian, terutama agama. Nam...