Pintu telah terbuka, perlahan aku melihat ke dalam dan langsung fokus melihat ke arah jendela, sungguh sulit dipercaya melihat jendela itu utuh dan tanpa ada kerusakan sedikit pun. Padahal kami semua tadi melihat ada seekor kadal besar yang telah menghancurkan jendela itu. Keadaan kelas terasa hening walau di luar penuh dengan suara rintik hujan, dan keadaan ini sama sekali tidak menandakan keberadaan kadal besar yang telah menyerang kelas kami, semuanya telah kembali seperti semula. Padahal mustahil jika kejadian tadi hanya halusinasi.
"Syafira, kamu kepikiran nggak? Kadal yang besar tadi itu wujud asli si Bayangan?" Syafira diam tanpa jawaban. "Fira, Syafira?" Aku menengok ke arah Syafira, dan lagi-lagi ia memperlihatkan muka ketakutan dengan mata melotot ke depan, bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa ia katakan. Aku segera melihat ke arah pandangan Syafira tertuju. Karena gelap, aku hanya melihat ada siluet hitam besar di dekat kursi Syafira. Jangan-jangan itu adalah kadal besar tadi.
Tak lama, selang beberapa detik lampu mulai menyala dan menunjukkan apa yang terjadi di dalam. Aku membisu dan tubuhku berlutut lemas ke lantai, tidak bisa berkata satu kata pun dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya tubuh dan mulutku yang membisu, bahkan mata pun tidak bisa kukedipkan, kala melihat dengan jelas di depan mataku sendiri, punggung sahabatku Tesya telah tertancap sebuah pedang yang dihunus oleh Mar berdiri di atas meja. Aku hanya bisa memelototi apa yang ada di hadapanku saat ini. Mar menggenggam sebuah pedang berwarna hijau, pedang itu bertekstur sisik dengan permata putih di pegangannya.
Seolah mata ini tidak bisa dikedipkan lagi, kala melihat keseluruhan wujud pedang yang mulai terlihat dengan jelas setelah perlahan dicabut dari punggung Tesya. Apa yang aku lihat ini benar-benar pemandangan yang mengerikan. Kejadian ini bersamaan dengan backsong alam berupa suara hujan deras dan gemuruh petir yang saling berkecamuk, membuat suasana kian suram. Hentikan! Tolong! Aku tidak kuat melihat ini semua. Mata, tolong berkediplah!
Setelah menjerit, Syafira pun pingsan. Aku iri terhadapnya yang sudah tidak melihat kejadian ini. Ingin rasanya aku terbangun dari tidur dan menganggap semua ini hanyalah mimpi, sehingga aku tidak perlu menangisi semuanya. Tetapi, ini adalah kenyataan yang membuat perasaanku sangat terkoyak. Kenyataan yang tidak terduga, kenyataan pahit yang tidak diinginkan selalu tampak di depan mataku.
Mengapa semuanya jadi begini? Mengapa hal mengerikan terus diperlihatkan padaku? Mengapa Mar menusuk Tesya dan mengapa harus Mar yang menjadi antagonis dalam ceritaku? Apa salah Tesya hingga Mar merenggut nyawanya? Ia tidak tahu apa-apa soal ini.
Wajah Mar menunjukkan ekspresi menyesal, bahkan ia mengeluarkan air mata. Ini adalah pertama kalinya aku melihat ia menangis. Namun, tangisan itu tidak ada artinya bagiku, tangisan itu tidak ada artinya setelah melihat pedang anehnya tertancap di punggung sahabatku yang bergeming, tertunduk lemas meja. Melihatnya menangis setelah melakukan hal kejam seperti ini, membuat butiran-butiran air mataku pun bercucuran, mengiringi hancurnya hati ini.
Tolong, Mar, jangan memasang ekspresi menyesal di depanku! Biar aku bisa sepenuhnya menyalahkanmu. Kenapa di saat aku udah gak lagi mencurigaimu, kamu melakukan hal yang benar-benar kejam seperti ini? Mengapa di saat aku mulai sadar adanya perasaan ini terhadapmu, malah seperti ini jadinya? Mar, siapa sebenarnya kamu?
Ia tidak bergeming sedikitpun, selain terus mengeluarkan air mata di wajahnya yang tertunduk. Pandanganku mulai kabur karena tertutupi banyak air mata. Tubuhku mulai melemah dan tergeletak di lantai, aku rasa aku akan pingsan. Sebelum kesadaranku hilang, aku melihat ia mengayunkan pedangnya dan pergi membawa tubuh Izal yang tertidur bersamanya. Entah pergi ke mana dan entah apa yang akan ia lakukan terhadap Izal. Tidak ada sepatah kata pun terucap, mereka pergi meninggalkan jasad Tesya di dalam kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Waktu (END)
Genç KurguHeran, ketika melihat teman-temanku memulai pertengkaran perihal ibadah. Padahal hubungan kami awalnya baik-baik saja. Entah pikiran negatif apa yang membuatku berpikir, andaikan tidak ada perbedaan yang menjadi biang pertikaian, terutama agama. Nam...