(11) Berbeda

100 9 0
                                    

Kini bayangan di mimpi itu berpindah ke saat-saat aku bertengkar dengan teman-temanku. Lalu Laila berkata, "Ini! Ini yang membuatku iri, mengapa kalian bisa bertengkar dengan temanmu? Mengapa di masamu begitu banyak perbedaan yang sangat menyenangkan, hingga menjadi sebuah pertengkaran sahabat yang mengharukan. Di masaku tidak ada pertengkaran sahabat seperti ini. Hidup ini terlalu datar, hingga aku merasa setiap kebahagiaan adalah palsu. Kamu beruntung Fia, mempunyai sahabat seperti mereka," ujar Laila.

Sebegitu keraskah hatiku? Hingga baru sekarang aku menyadarinya. Ia bahkan iri dengan pertengkaran yang menurutku menjengkelkan.

"Apakah di masamu tidak ada pertengkaran sedikit pun? Karena yang aku lihat, orang-orang di masamu sangat ideal, seharusnya kamu turut bahagia dengan semua kesejahteraan di masamu," balasku.

"Fia, aku akan mengingatkanmu pada tatapan mata mereka. Muka mereka tampak tersenyum, tertawa yang kita tahu itu adalah simbol kebahagiaan, tetapi, mata mereka kosong dan menderita, sepertiku," jawabnya.

Bayangan itu kini menunjukkan ingatannya ketika melihat orang-orang di taman. "Lihatlah jauh ke dalam matanya! Adakah jiwa dalam mata mereka?!?"

Mengapa aku baru menyadarinya? Aku melihat tatapan kosong di mana-mana. Mata-mata mereka seperti berteriak minta tolong ingin dikeluarkan dari penjara ini. Muka mereka seperti robot yang dipaksa untuk tersenyum. Mengapa aku baru menyadarinya? Bahwa rasa marah, sedih, pendapat, perbedaan, dan agama adalah fitrah manusia sebagai penyeimbang kebahagiaan. Allah Maha Adil, semua yang diciptakan-Nya adalah keadilan, walau terlihat buruk di mata kita, tetapi itu adalah keadilan yang sulit dipahami bagi manusia yang menutup pintu hatinya.

"Fia, apa salah agama di masa lalu? Sehingga pemerintah di masaku menolak untuk membicarakan soal Agama? Beri tahu aku agama itu seperti apa yang sebenarnya. Aku tahu ... kamu tidak akan mengajari seseorang karena traumamu itu. Tapi, sadarkah bahwa justru ketika menyimpan sebuah kebenaran sendirian, itu adalah keegoisan yang nyata? Orang yang menyindirmu, adalah sebagian kecil orang yang tidak menginginkan kebaikan. Sebenarnya, jauh lebih banyak orang yang membutuhkan sebuah penerangan, dibanding orang-orang senang dalam kegelapan. Bahkan orang yang menolak kebaikan, jauh di lubuk hatinya, ia senang jika ada yang memberinya sedikit penerangan di hati yang gelap," pinta Laila menusuk hatiku.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu seperti biasanya ketika aku berpikiran negatif tentang agama yang telah membuat semua menjadi kacau. Mengapa aku bisa menjadi sebodoh dan selemah ini? Mengapa bisa-bisanya aku kehilangan agama yang telah aku pegang dari lahir? Kini aku sendiri yang kebingungan mencari jawaban, apalagi setelah menerima berbagai macam benturan realita. Pertanyaan mengapa dan mengapa terus berputar-putar di kepalaku.

Ternyata selama ini aku melihat kebahagiaan palsu di masa depan, tanpa melihat penderitaan yang tersembunyi di baliknya. Aku tertunduk malu dengan semua ini. Dalam penyesalan, aku melihat tetesan air di lantai. Aku memegang mukaku. Aku menangis?

Mengapa aku terlalu terlena dengan semua ini? Hatiku merasa sakit, karena merindukan sesuatu yang telah lama hilang dari diriku, yakni air mata, bukti bahwa hati ini telah melembut.

"Laila, terima kasih. Terima kasih banyak telah 'menamparku' dengan keras sekali ... hingga akhirnya aku bisa mengeluarkan air ini dari mataku. A-ku, aku ... Laila, ter ...," ucapanku terputus-putus karena air mata ini begitu deras keluar.

Betapa sakit hatinya ketika aku mengerti apa yang dirasakan oleh Laila selama ini, dan betapa bodohnya aku selama ini. Dia hidup di masa yang penuh kedamaian, jarang sekali dan bahkan hampir tidak menemui apa yang namanya pertikaian, debat mempermasalahkan argumen, dan pertikaian persahabatan hingga membuatnya iri padaku. Aku tidak menyadari bahwa itu adalah fitrah manusia, yang telah hilang di masa ini. Ia hidup di masa di mana sistem belajar begitu mengekang yang penuh dengan pantauan dan merasa tidak bebas dengan keinginannya. Ia hidup di masa perbedaan sudah tidak ada. Ia hidup di masa agama sudah tiada.

Malam itu begitu sentimen, penuh dengan air mata penyesalan, kesedihan, harapan, dan rasa tidak tahu yang membuat diri begitu lemah. Mimpi serasa sangat panjang, saking panjangnya, aku berpikir kenapa tubuh Laila tak kunjung bangun. Di ruangan ini, ia tiba-tiba pergi dan menghilang, dan aku rasa ini sudah waktunya Laila untuk bangun. Tetapi, mengapa Laila belum bangun juga? Mengapa aku masih terjebak di sini? Bukannya ia harus memulai hari seperti biasa?

Aku sangat lega karena akhirnya Laila terbangun dari tidurnya. Aku kira sudah berhari-hari ia tidak bangun, ternyata jam bangunnya masih seperti biasa. Waktu di alam mimpi bisa terasa sangat panjang, dan bahkan bisa sangat singkat. Setelah bangun, ia sarapan dan berangkat ke sekolah, seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin di dunia nyata, Laila merasa ini semua hanyalah mimpi. Aku merasa keadaan hati Laila sudah membaik, walau di mimpi ia terlihat begitu menderita. Hanya saja, aku merasa ia tidak bersemangat seperti biasanya. Apalagi ketika Laila menyampaikan pesan kepada ayahnya untuk datang ke sekolah.

Sehari penuh sudah Laila lewati, kini waktunya untuk mengistirahatkan tubuhnya setelah lelah beraktivitas seharian. Aku sudah menunggunya di ruangan putih ini, di alam mimpinya untuk menanyakan beberapa hal yang hampir aku lupakan. Aku ingin bertanya mengapa semua orang di masa ini mempunyai hati kosong, pasti ada alasan yang kuat di balik semua kejadian ini.

Sangat lama aku menunggu, entah berapa lama aku berdiam di sini, Laila belum kunjung datang. Lagi-lagi aku ditinggal sendiri, di ruangan yang sepi ini. Walau hanya beberapa hari aku mengalami fenomena melompati waktu ini, aku merasa seolah sudah seumur hidup aku berada di sini. Aku juga belum merasakan rindu rumah. Semenjak jiwaku terpisah dari tubuh, aku kesulitan untuk mengontrol perasaan. Aku sendiri hampir tidak bisa merasakan apa yang sebenarnya hati ini rasakan.

Sepi, jenuh karena menunggu terlalu lama itu sudah pasti. "Apa Laila membenciku hingga ia tidak datang lagi ke sini?" gumamku.

"Justru ia sangat menyukai dan mencintaimu, serta semua kisah di masamu, Fia," terdengar dari arah belakangku, suara yang tak asing bagiku, itu suara si Bayangan.

Aku berbalik dan melihat Bayangan itu di lantai. Seperti biasa, ia adalah bayangan tanpa tubuh. "Aku kira kamu akan muncul di akhir cerita, atau mungkin ini adalah akhir cerita?" tanyaku. "Oh, aku tahu. Setelah aku melihat semua ini, aku rasa kamu akan bertanya mana yang aku pilih, masa depan atau masa lalu. Bukankah itu yang ingin kautanyakan?" ujarku terus terang.

Bayangan itu menggerakkan mulutnya seraya berkata, "Sungguh hebat sekali, kau sudah bisa menyimpulkannya. Namun, sayangnya, ini bukanlah akhir, justru di saat inilah kau akan benar-benar melihat kebenaran yang sesungguhnya. Tentunya ini juga ada hubungannya dengan mengapa Laila tidak kunjung datang menemuimu hingga saat ini,"

"Maksudnya?" tanyaku kebingungan.

"Yang aku maksud adalah, jiwa Laila telah melemah karena kehadiranmu di tubuhnya. Jika kau bermaksud menyalahkanku karena aku membawa jiwamu ke dalam tubuhnya, lebih baik kau salahkan Laila yang meminta, bahkan terkesan memaksa agar ia bisa melihat masa lalu, dengan syarat aku membawamu ke sini. Tentu, dia setuju dan sangat paham risikonya. Karena jiwanya sudah melemah, cepat atau lambat ia akan kehilangan jiwanya dan digantikan oleh jiwamu. Keegoisan manusia memanglah yang terburuk, bukan?" jelas si Bayangan, tersenyum puas melihat kami menderita.

Entah mengapa aku hanya diam saja mendengarnya menceritakan hal buruk seperti itu, karena aku juga merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Di balik diamku, terbesit keinginan bahwa aku ingin mengambil alih tubuhnya Laila. Kala itu aku benar-benar tidak sadar telah terbawa sisi gelapku untuk bisa menikmati masa depan lebih lama dan lebih nyata. Dengan mengorbankan seseorang yang begitu baik, saking baiknya ia bahkan rela mengorbankan nyawanya demi mencari tahu keberadaan agama.

"Aku rasa aku tahu kau akan memilih yang mana, tentunya ingin memilih masa depan yang begitu indah ini, bukan? Aku rasa juga Laila akan sangat berterima kasih jika kau mengambil alih tubuhnya, karena Ayahnya tercinta tidak akan khawatir karena masih bisa melihat anaknya, walau jiwanya sudah digantikan oleh orang lain." Bayangan terus menggodaku. Aku dibuat bisu olehnya.

"Oh, aku hampir lupa mengatakan bahwa tentunya, jiwamu tidak akan bisa kembali ke tempat asalmu, ke masamu, karena hatimu terlalu jujur ingin tinggal di masa ini." Ia terus menggodaku. Aku benar-benar diam, karena ia bisa membaca keinginanku untuk tinggal di masa depan, ditambah dengan perkataannya jika aku tidak akan bisa kembali ke masaku, benar-benar membuatku tidak bisa memilih hal lain. Ada apa dengan hatiku, tidak maukah hati ini untuk pulang? Mengapa hati ini selalu lari dari kenyataan, tidak adakah yang bisa menolongku?

"Ya, Allah, tolong aku!" mohonku. Setelah itu, aku tidak sadarkan diri, walau aku tahu ini di dalam mimpi.

Gelembung Waktu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang