(21) Benar-Benar

50 9 0
                                    

Kamar Syafira ini termasuk kamar yang bagus dan luas dengan cat merah muda dan banyak foto-foto semasa kecilnya menghiasi dinding kamar. Rumahnya pun besar dan bisa dikatakan rumah orang kaya. Abinya menjabat sebagai atasan di salah satu perusahaan pencetakan atau Digital Printing. Sedangkan ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga.

Walaupun termasuk keluarga kaya raya, tetapi Syafira tidak pernah kehilangan waktu dan kasih sayang di dalam keluarganya. Ia sangat beruntung karena dibesarkan dengan kehidupan yang penuh dengan kasih sayang Islami. Nilai baik keluarga ini bertambah karena keluarganya ini terkenal dermawan di daerah sini. Terutama kakak laki-lakinya yang seorang aktifis Pemuda Islam, bahkan pernah viral di sosial media berkat idenya menggalang dana bagi guru-guru ngaji di daerah terpencil, yang tidak begitu diperhatikan perekonomiannya. Padahal para 'pahlawan' ini sudah menjadi orang yang tulus memberikan tangga awal dalam pembelajaran agama sejak dini.

Pantas saja ketika dulu Syafira dan Tesya bertengkar, mungkin Tesya pernah berkunjung ke rumah ini. Tesya pasti sangat iri dengannya, terlihat dari perkataannya ketika mereka bertengkar dulu. Syukurlah, Tesya bukan lagi sosok seperti itu, ia kini menjadi lebih baik.

Gelap telah menyelimuti waktu, arah jarum jam di dinding kamar menunjuk ke angka delapan. Aku disuruh oleh orang tua Syafira membawa makanan ke kamarnya, dan diminta untuk menemaninya makan malam.

Aku bertanya pada Umi, "Kenapa nggak Umi aja yang nganterin makanannya? Soalnya juga, dari tadi Umi 'kan belum ketemu sama Syafira?"

"Syafira bilang dia cuma mau ketemu sama Fia. Umi seneng dia punya temen baik kayak kamu, yang mungkin di saat seperti ini cuma Fia yang bisa memahaminya. Umi kurang tahu apa permasalahannya, jadi mungkin kurang cocok jika harus menemaninya sekarang ini. Tapi, Umi titip Syafira ke kamu ya, Fia." Ucapan dari umi yang sangat baik hati ini membuatku tidak ingin membuat Syafira mengalami penderitaan yang lebih.

Setelah selesai makan dan membereskan piring-piring ke wastafel, aku rasa Syafira cukup tenang jika harus menjelaskan rinciannya. Tetapi tanpa diminta pun, ternyata ia mau menjelaskan bagaimana kejadian rincinya.

"Awalnya, aku takut banget, sampai ngerasa apa aku udah mati?" Syafira merasakan apa yang aku rasakan ketika di tempat gelap dan gelembung-gelembung itu, jiwa kami terasa hampa dan tidak bisa terkendali. Sehingga kita berpikiran bahwa apakah kita sudah mati atau belum. Ia menjelaskan bagaimana ia sangat terkejut ketika melihat kenangan-kenangan yang tidak ia kenali, hal itu meyakinkan bahwa dirinya sudah berada di alam lain.

"Yang lebih membuat ngeri, tiba-tiba ada suara entah dari mana. Aku cuma berpikir aja itu suara dari makluk yang telah membawa aku ke sini. Makhluk itu bilang, 'Panggil saja aku Bayangan. Aku hanya ingin membuatnya lebih cepat, aku akan membawamu kepada konflik terbesar dalam hidupmu, setelah lama kau menjalani kehidupan damai dari lahir. Aku hanya ingin melihat reaksimu, dan aku akan membuat pilihan untukmu. Apakah kau akan terus hidup tanpa rasa syukur, ataukah kau memilih mati dengan rasa syukur. Pikirkan itu baik-baik! Selamat menjalani hidupmu yang bahagia.', begitu," jelas Syafira panjang.

"Walau agak beda, kurang lebih intinya sama dengan apa yang aku alami," tanggapku.

"Cuma segitu yang aku tahu tentang si Bayangan. Pastinya itu ngebuat aku syok. Tiba-tiba dikasih pilihan hidup atau mati. Tapi, ternyata, itu cuma mimpi. Pengennya gitu, tapi, pada akhirnya ketika aku bangun, aku nggak tahu itu di mana, di tempat apa, dan aku mulai merasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Aku mulai mencari kaca dan bercermin. Aku kaget banget, ternyata aku udah terlihat seperti berumur 30 tahunan. Penampilanku ini persis seperti di gelembung-gelembung ingatan itu. Di sana aku sadar dengan semua keanehan ini, dan maksud dari si Bayangan," ujar Syafira.

"Lalu kamu mulai mencari kalender dan ... kamu udah di masa depan?" lanjutku.

"Iya, itu adalah hal yang paling gak mungkin dalam kehidupan ini. Sayangnya, aku lupa hari dan tanggalnya, yang aku inget itu cuman tahunnya, di tahun 2033. Tapi, setiap jari, tangan, kulit, kaki dan semua tubuh dan benda yang aku lihat dan pegang itu benar-benar nyata. Bukan seperti dalam mimpi atau apa. Aku ketakutan banget waktu itu. Yang aku bisa lakukan buat nenangin diriku sendiri saat itu, aku berpikir mungkin aku terlibat sebuah kecelakaan hingga aku koma dengan waktu yang sangat lama. Dan bangun dari koma setelah belasan tahun kemudian," jelasnya berpikir positif.

"Kok dengernya kayak kisah kebanyakan novel," tambahku dengan senyuman.

Syafira hanya merasuki dirinya sendiri dan tidak terlalu jauh ketika melompati waktu. Wajar saja ia bisa berpikir jernih kala itu, karena tidak terlalu banyak hal yang membingungkan terlihat seperti yang aku alami.

Ia melanjutkan, "Sayangnya Fi, dugaanku salah. Tiba-tiba ada anak laki-laki lucu berumur sekitar 7 tahun masuk ke ruanganku dan memelukku sambil bilang, 'Umah, Haydar lapar. Sarapannya belum dibuat, Umah?'. Ada anak bernama Haydar yang memanggilku Umah. Aku sempet berpikir sejenak, kata-kata Umah itu sama dengan Umi, jadi waktu itu aku adalah seorang ibu dari anak ini. Aku bener-bener kaget di situ. Sejak kapan aku melahirkan Haydar ini, terus suaminya siapa? Aku bener-bener kaget."

Syafira melanjutkan kisahnya. Ia memeluk Haydar seolah ia merasa sudah sangat mengenali Haydar sebagai anaknya sendiri, terbiasa mengurus anak, dan berperilaku bahwa semua ini adalah benar kehidupannya. Ingatannya di masa depan dan di masa lalu telah bercampur dan membuatnya hidup dengan perilaku seperti biasanya di masa depan itu. Membuat orang-orang tidak curiga bahwa di dalam tubuh Syafira versi dewasa itu adalah Syafira dari masa lalu yang masih berumur 17 tahun. Ia merasa semua yang dilakukannya kala itu adalah hal yang biasa ia lakukan, seperti membuat sarapan untuk anaknya dan mengurus rumah seperti halnya kegiatan seorang ibu pada umumnya. Tentunya, Izallah yang menjadi ayah dari Haydar.

"Aku benar-benar nggak nyangka Fia, aku benar-benar nikah sama Izal dan punya anak yang lucu banget dari pernikahan kami. Dan dia benar-benar udah berubah menjadi lebih dewasa. Izal berangkat pagi ke tempat kerja di perusahaan Abi aku, soalnya Izal menggantikan posisi Abi yang pensiun, alias dia jadi atasan di perusahaannya. Izal sarapan makanan yang aku buat, dan membawa bekal makan siang yang benar-benar aku buat. Benar-benar keren dan cocok jadi imam yang baik di keluarga kami. Aku benar-benar bahagia saat itu." Ia mengatakan hal itu dengan pipi merah, rasa bahagia dan malu-malu turut bercampur.

"Dan aku benar-benar turut bahagia juga mendengarnya. Tapi, apa kamu seyakin itu, bahwa itu 'benar-benar' masa depan kamu?"

"Ya nggak tahu juga sih, lagian aku ngerasa ini benar-ben– ehem! Ini terasa sangat nyata bagiku, ini sangat-sangat nyata. Walau sesekali aku pernah ngehalu hal ini. Tapi waktu itu bener-bener sangat nyata. Dan aku merasa bener-benar sangat hidup di sana." Sepertinya kata 'benar-benar' adalah tanda malunya.

Ia merasa bahagia di masa depan, itu sudah membuatku sangat senang mendengarnya. Tapi, ini adalah hal yang aku takutkan. Alur yang diberikan oleh si Bayangan sangatlah ekstrim, di awal ia memberikan kisah yang sangat bahagia, membuat kami terlena dan betah hidup di sana. Namun, tidak membutuhkan waktu lama bagi si Bayangan merusak kebahagiaan itu. Hidup ideal Syafira bisa dihancurkan oleh penderitaan yang tidak terduga datangnya.

Syafira melanjutkan kisahnya tentang kehidupan sehari-harinya yang sangat bahagia, bahkan ia mengatakan bahwa itu adalah hari di mana ia sangat bahagia seumur hidupnya. Membesarkan dan mengasuh Haidar, melayani suami dan mengurus rumah tangga yang sangat ia dambakkan itu adalah hal yang paling ia harapkan seumur hidupnya.

"Aku suka iri dengernya. Dari kecil kamu dibesarkan di kehidupan yang ramah, idealnya hidup yang diinginkan semua orang. Lalu, udah rumah tangga pun hidup kamu terasa sangat sempurna. Allah sangat sayang sama kamu," pujiku.

"Nggak Fia! Ini justru ujian Allah yang paling berat menurutku. Bagi mereka yang mungkin nggak seberuntung aku, membantu orang bisa jadi opsi kedua. Tapi bagiku, jika aku menolak untuk membantu orang lain, udah pasti aku menjadi orang yang kufur nikmat. Membantu orang lain itu udah kewajiban mutlak bagiku dan keluarga," sanggah Syafira.

"Iya sih. Orang miskin kayak keluargaku, malah kata ustadz kalau sedekah di keadaan susah, pahalanya makin berlimpah. Masih bisa peduli sama orang lain walau sendirinya susah."

"Fia, berhenti deh nilai kekayaan orang dari materinya! Itu cuma titipan. Ada rezeki orang lain di kekayaan seseorang. Kekayaan sejati itu dari hatinya," bantah Syafira.

"Iya iya .... Tapi, sayangnya cuma Allah yang tahu hati seseorang."

"Kamu tuh, kalau dikasih tahu suka ngelak terus."

"Ya ya udah! Lalu lanjutan kisah di masa depannya kayak gimana?" tanyaku.

"Sayangnya, ketika aku membantu orang secara sembarangan, itulah yang jadi petaka buatku dan seluruh keluargaku."

Gelembung Waktu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang