Fabio datang ke black room. Dia masuk ke dalam dan menghampiri Yenddi, petugas yang mengurus Damario. Tampak Yenddi mengawasi Damario yang tergeletak tidak sadarkan diri. Fabio melirik pisau bersimbah darah yang berada di atas meja, kemudian melihat Damario.
"Kita akan membawanya ke rumah sakit," gumam Fabio.
Yenddi mengangguk, "Aku sudah menghubungi Dr. Ozuna. Dia menunggu kita disana."
Fabio dan Yenddi pun membawa Damario dengan menopangnya. Mereka keluar dari black room melalui pintu yang juga diamankan dengan sandi. Pintu itu menuju ke samping mansion. Mereka memasukan Damario ke dalam mobil. Setelah Fabio masuk ke bagian kemudi, Yenddi menyusul masuk ke dalam mobil. Mobil mewah itupun melaju pergi.
Allard yang berdiri di jendela yang mengarah ke depan mansion, ia pun melihat mobil melaju dari arah samping mansion. Tidak ada kecurigaan sama sekali, hanya berpikir mungkin itu orangnya Adexe yang pergi.
"Jadi kau Ibunya Mommyku ya? Berarti kau grandma!" kata Enrico yang duduk bersila di depan Harsha yang duduk agak menyamping.
Harsha mengusap kepala Enrico dengan lembut sambil tersenyum. "Kau boleh memanggilku begitu," katanya.
"Whoa! Sekarang aku punya nenek!" Enrico begitu semangat sampai memeluk Harsha.
Allard menoleh saat mendengar suara Enrico yang terdengar seru. Ia kembali ke ruang tamu dan berdiri di dekat mereka seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Allard tersenyum melihat Enrico yang membelakanginya begitu erat memeluk Harsha. Allard semakin tersenyum melihat Harsha yang terlihat senang memeluk Enrico. Melihat istrinya itu berpelukan dengan Enrico, mengingatkannya saat Harsha memeluk Rex waktu masih sebesar Enrico. Harsha membuka matanya dan langsung melihat Allard. Harsha mengurai pelukan kemudian memangku Enrico.
"Lucu kan kalau kita punya cucu, Allard? Lihat anak ini sangat menggemaskan," kata Harsha dan memeluk Enrico dengan gemas.
"Kenapa bukan anak saja?" tanya Allard.
Harsha mengernyit.
"Lebih lucu lagi kalau kita punya anak kan, sayang? Tambah satu lagi yuk!" kata Allard dengan mengedipkan satu matanya.
Harsha tercengang lalu tertawa, "Kau ini ada-ada saja! Ingat umur, Allard!"
Allard mengernyit seraya tersenyum, "Apa salahnya? Kita coba saja dulu. Mau kembar lagi? Bisa. Jangankan dua, lima anak kembar saja bisa."
Harsha sukses dibuat tertawa dan tersenyum-senyum. Tidak mau tambah anak lagi pun tiada hari tanpa Allard meminta jatah. Untung saja tulang-tulang Harsha tidak bermasalah.
"Apa yang kau pikirkan, sayang?" tanya Allard yang menangkap pandangan Harsha yang kosong.
Harsha mengerjap, Allard duduk disampingnya. Allard mengulurkan tangannya untuk memegang kepala Harsha.
"Kepala cantikmu ini pasti berpikir apa kita bisa punya anak lagi ya? Tenang saja, kau masih terlihat muda dan sehat kok. Staminaku juga selalu kuat. Rondenya mau ditambah dari biasanya, sayang?" Harsha lantas melototi Allard meski dengan tersenyum kecil.
Harsha menggeleng, "Allard jangan bicara macam-macam di depan anak kecil. Cukup pikiranku saja yang kau nodai."
Allard menatap Enrico, "Apa kau mengerti apa yang aku katakan?"
Enrico menggeleng, "Tidak. Orang dewasa itu aneh. Orang dewasa bicara yang tidak aku mengerti."
Allard beralih melirik Harsha, "Kau dengar itu?"
"Nanti kalau kau lebih macam-macam bicaranya, dan dia bertanya.. kita jawab apa, Allard?" balas Harsha.
Allard menyandarkan punggungnya di sofa, "Jawab saja, apa susahnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
King Of Psychopath
RomanceSenjata dan biola, dua benda yang cukup melekat pada dirinya. Dia memiliki dua reputasi yang cenderung bertolak belakang. Simfoni yang di mainkannya mengantar kita pada dunia fantasi. Namun tahukah kalian? Di balik reputasinya sebagai pemain biola t...