Oakland, California.
Terkurung di dalam kamar yang sangat asing membuat siapapun yang merasakannya ingin keluar. Sudah dua hari Allcia berada di sana dan dia tidak tahu jika dia berada di luar kota, jauh dari Los Angeles. Memakan waktu berjam-jam untuk sampai ke Oakland. Allcia tidak ingat siapa yang membawanya. Terakhir kali yang ia ingat adalah saat ia menari dan mengobrol bersama Kinnamei diklub.
"Siapa yang membawaku kesini? Dimana Alanzo dan Osiel?" tanya Allcia sendirian yang duduk di sudut ruangan sambil melihat jendela. Cuaca pagi ini tampak sangat cerah.
Apa yang sebenarnya terjadi? Batin Allcia.
Allcia meremas kepalanya sendiri, "Damn, aku tidak suka penculikan seperti ini. Hidup itu memang drama."
Allcia berdiri dan melangkah ke pintu. Ia menekan hendle pintunya. Percuma, berapa kalipun ia menekannya, pintunya takkan terbuka. Tidak ada benda tajam satupun di sana yang bisa ia pakai untuk mengakali lubang kuncinya. Jika saja ponselnya ada, ia akan menghubungi 911. Terdengar suara langkah kaki. Apa itu wanita yang biasa mengantar pakaian dan makanan untuknya? Kening Allcia berkerut setelah mendengar suara langkah kakinya lebih seksama, sepertinya bukan satu orang saja di luar.
"Jadi Tuan, apa yang akan kita lakukan padanya? Apa kau akan menghabisinya?"
Mata Allcia terbelalak begitu mendengar pria itu memanggil orang bersamanya dengan panggilan "Tuan", itu berarti seorang pria. Allcia lantas melangkah mundur saat pria itu mengucap kata "menghabisinya". Pikiran Allcia sudah terbang kesana-kemari, ia merasa begitu parno. Allcia melirik ke segala arah, mencari tempat persembunyian. Allcia memutuskan untuk masuk ke dalam lemari yang cukup besar. Okay, itu pilihan yang bodoh. Terdengar pintu kamar terbuka. Allcia mengintip dari celah pintu lemari. Mereka masuk, jantung Allcia berdetak kencang.
"Tuan, dimana gadis itu?" tanya pria yang berpakaian serba hitam.
Pria yang mengenakan jaket hitam itu justru menyuruhnya pergi dengan gerakan tangannya. Pria berjaket hitam itu menutup pintunya dan menguncinya. Siapa dia? Allcia tidak bisa melihat wajahnya. Pria itu memakai penutup kepala jaketnya dan.. Oh, God! Ada alat pemecah es dan pisau ditangannya.
Allcia menatap alat itu dan membayangkan tubuhnya ditusuk-tusuk. Allcia menutup matanya dan menggeleng, peluh keringat sudah membasahinya. Allcia kembali mengintip dengan tubuh yang tegang. Pria itu sedang mencarinya, dia pergi ke arah kamar mandi yang pintunya di samping lemari.
Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Allcia lantas menutup mulutnya untuk menahan suaranya saat pria itu berdiri membelakangi lemarinya, tepat di depan celah pintu lemarinya.
Please, please, please, ucap Allcia dalam hati bagaikan mantra.
Allcia semakin menutup mulutnya dan takut ketika tubuh pria itu berbalik. Allcia tidak berani untuk mendongak melihat wajahnya. Pisau yang cukup jelas ia lihat lebih menarik perhatiannya. Allcia menutup matanya rapat-rapat.
Don't open the door. Please, God. Help me. Please, batin Allcia.
Sungguh, rasanya Allcia ingin sekali menangis. Tapi ia tahan. Ia tahu percuma bersembunyi, ia hanya tidak mau mati dengan cara yang tragis. Sial, pria itu membuka pintunya dengan kencang. Allcia semakin memeluk dirinya sendiri dan tidak kuasa menahan air matanya.
Aku akan mati! Aku akan mati! Batin Allcia.
Tunggu, kenapa tidak terjadi apapun selama beberapa detik? Allcia memberanikan diri untuk membuka matanya. Tubuhnya lantas membeku dan matanya terbelalak. Ujung pisau itu sudah di depan mata kanannya, hanya berjarak beberapa senti.
KAMU SEDANG MEMBACA
King Of Psychopath
RomanceSenjata dan biola, dua benda yang cukup melekat pada dirinya. Dia memiliki dua reputasi yang cenderung bertolak belakang. Simfoni yang di mainkannya mengantar kita pada dunia fantasi. Namun tahukah kalian? Di balik reputasinya sebagai pemain biola t...