Bicara Soal Nikah

744 41 4
                                    

“ZA, kamu masih lama, ya? Robi sama mamanya udah dateng itu.”

Za memalingkan pandangan dari cermin besar di hadapannya ke arah pintu yang masih terkunci. Ia memang sengaja mengunci pintu kamarnya sejak kemarin malam usai bertengkar dengan sang ayah.

Sepulang dari membesuk pria bernama Robi Alkahfi di kantor polisi, ayahnya langsung menyampaikan keputusannya untuk menikahkan mereka. Za jelas tidak terima dengan keputusan sepihak yang dibuat sang ayah. Ia langsung mencak-mencak seperti anak yang tidak tahu sopan santun.

“Pokoknya Za gak mau! Ayah udah gila ya, mau nikahin Za sama cowok itu?” Demi Allah, selama dua puluh satu tahun hidupnya, ini pertama kalinya ia bicara sekasar itu kepada ayahnya. Semua ini gara-gara pria cabul itu! Berani-beraninya dia mempermalukan Za di muka umum.

“Syaza Fadhilah, jaga bicaramu!” Suara bunda meninggi, kontan saja membuat Za langsung menutup mulut. Bundanya ini jarang sekali marah. Tapi sekalinya marah tidak akan ada yang bisa mendinginkan selain ayah. Kadang-kadang malah tidak berhasil.

“Dia mengaku sayang sama kamu.” Ayah berkata lembut, mengabaikan teguran bunda yang duduk dengan tatapan marah di sampingnya. “Dia cuma mau menunjukkan perasaannya ke kamu, hanya saja caranya salah,” jeda sejenak untuk menghela napas, ia melanjutkan, “Karena itu Ayah restui dia untuk menikahi kamu.”

“Ayah langsung percaya gitu aja?” Za mengusap wajahnya frustrasi. “Ya Allah, Yaaah. Itu tuh cuma alasan dia doang. Kalau dia beneran sayang sama Za, dia gak akan mungkin mempermalukan Za kayak gitu.”

Setelah menyalami perempuan yang ia yakini adalah mamanya Robi sambil memasang senyum seadanya, Za langsung mengambil duduk di antara ayah dan bundanya tanpa mau repot-repot menoleh lagi ke arah Robi.

“Dengan kerendahan hati, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya pada Mas Hamka, pada Mbak Sakinah,” Mira menoleh ke Za, “terutama pada Za yang merasa sangat dirugikan di sini.”

Mira hampir jantungan saat mendengar berita memalukan itu dari tetangga sebelah rumah. Ia menghubungi Robi ingin memastikan kebenaran berita yang didengarnya, tetapi teleponnya dijawab oleh petugas yang menangani kasus itu. Mira pun bergegas menuju kantor polisi. Ia langsung diantar menemui Robi dan anak itu pun menyampaikan keinginannya menikahi Za. Tubuh Mira lemas seketika itu. Tetapi Robi meyakinkan bahwa ia serius ingin menikahi Za.

“Maafin saya, Za. Waktu itu saya gak bisa menahan diri.”

Seperti bom waktu, Za seolah siap meledak saat Robi mengucapkan kata-kata itu dengan tenang. Selama ini hidup Za baik-baik saja. Tidak ada berita miring yang menerpa kehidupan pribadinya maupun personel Asslam. Namun, setelah bertemu dengan Robi, ia jadi terlibat masalah.

Kalau mengingat kerugian yang diterimanya, rasanya Za ingin menusuk mulut kurang ajar yang sudah lancang menciumnya itu dengan trisula Poseidon. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Meskipun ia punya cukup uang untuk pergi ke Yunani dan meminjam trisula itu dari Museum Nasional, rasanya terlalu berlebihan. Bukankah Allah tidak suka pada orang yang berlebih-lebihan? Jadi tidak usah. Ia akan menggantinya dengan garpu saja. Toh trisula dan garpu bentuknya hampir serupa.

“Saya udah maafin kok, Tante.” Tidak seperti tadi, kali ini Za tersenyum tulus kepada Mira. Mungkin dia lagi kesetanan aja waktu itu.

Mira tersenyum lega mendengarnya. Ia ingin menggenggam tangan Za sambil mengucapkan terima kasih, tetapi ia harus menahan diri karena wanita mungil itu sedang menjalin kedua tangannya di pangkuan. Ia pun beralih menatap Hamka dan Sakinah. “Saya kaget banget loh, Mas, Mbak, waktu Robi tiba-tiba bilang mau menikahi Za. Awalnya saya gak percaya, tapi kemudian saya lega dan bersyukur banget waktu tau Mas Hamka sendiri yang memberi restu. Saya juga berterima kasih banget karena Mbak Sakinah dan Mas Hamka sudah berkenan menjamin kebebasannya.”

Hamka menanggapinya dengan senyum ramah. “Saya hanya ingin membantu Robi menyampaikan perasaannya dengan cara yang benar,” jelasnya yang langsung diamini oleh Sakinah.

Za melirik ayahnya yang masih tersenyum ramah kepada Mira. Demi apa, tangannya sudah gatal ingin mencakar-cakar wajah ayahnya. Iya, kalau saja ia tidak ingat dengan dosa dan neraka yang menggelegak.

“Jadi, Za bersedia kan menikah dengan Robi?” Za terkejut ketika Mira tiba-tiba menoleh ke arahnya. Ia melihat ke sekitar dan menyadari orang-orang sedang menunggu jawabannya.

Enggaaak! Demi apapun yang Allah ciptakan di muka bumi ini, Za enggak mau nikah sama Robi. Umurnya masih dua puluh tahun. Ia masih ingin sendiri, masih ingin pecicilan bersama teman-temannya, dan yang paling penting, ia masih ingin berkarya bersama Asslam Gambus yang sudah membesarkan namanya. Juga yang tak kalah penting, Za tidak sudi menjadi istri dari pria yang sudah berani mempermalukan dirinya. Namun, saat matanya bertemu dengan mata ayah dan bunda, tatapan orang tuanya itu menyiratkan harapan. Duh Allah, Za jadi gak tega buat bilang enggak.

Sampai dua menit berlalu, Za tak kunjung memberi jawaban. Kepalanya yang terbungkus pashmina warna dusty purple ditundukkan dalam-dalam, sementara jemarinya masih saling bertautan. Setelah beberapa saat hanya berdiam diri, seolah sedang menyiapkan hati untuk keputusan yang besar---amat sangat besar, Za mengembuskan napas pelan, mengangkat wajahnya perlahan, lalu berkata ... Bismillah.

“Saya bersedia, Tante.”

“Alhamdulillah, Ya Allah,” seru Mira tersenyum lega. Mata tuanya berbinar-binar saking gembiranya. “Jadi, kapan kami bisa kembali lagi untuk lamaran resmi?” tanyanya lama kemudian. Beralih kepada Hamka dan Sakinah.

“Lebih cepat lebih baik, Mbak, biar skandal itu cepat dilupakan dan tidak ada lagi fitnah yang merugikan,” kata Sakinah dengan senyumnya yang cantik. Hamka mengangguk setuju.

“Kalau begitu saya dan keluarga besar akan datang lagi minggu depan, ya?”

Usai membicarakan rencana pernikahan yang membuat Za hampir mati kebosanan dan ditutup dengan acara makan malam yang super garing, akhirnya Robi dan mamanya pamit pulang. Huah, rasanya Za ingin teriak kencang-kencang, Kenapa gak dari tadi sih, hayati sudah muak, Baginda. Setelah ini ia akan mengunci diri lagi di kamarnya dan melanjutkan aksi ngambeknya yang tertunda.

“Tante pulang ya, Sayang. Kamu sehat-sehat di sini, ya.” Mira memeluk Za di depan pintu sambil mengusap-usap punggungnya. Dalam hati jingkrak-jingkrak kegirangan karena bisa berpelukan dengan sang idola. Dan bakal lebih girang lagi kalau Za sah menjadi menantunya.

Za hanya membalas dengan kalimat pendek. Ia juga membalas pelukan hangat Mira meski sepasang matanya kini mulai berkaca-kaca.

“Assalamu’alaikum, Za.” Robi tersenyum manis sekali. Sekilas terlihat mirip dengan Al-Ghazali. Oh, lupakan itu! Za sudah terlanjur benci. Jadi ia tidak peduli lagi dengan ketampanan yang dimiliki Robi. Muka saja yang ganteng, kelakuannya minus.

Kalau saja ... Iya, kalau saja menjawab salam hukumnya tidak wajib, sudah pasti Za akan langsung membanting pintu di depan hidung Robi dengan harapan hidungnya yang mancung itu bakal patah. Tetapi karena ia masih ingin masuk surga dan bertemu dengan Nabiyullah, terpaksa ia menjawab salam itu dengan nada ketus dan tatapan sinis yang siap membunuh Robi saat itu juga.

Begitu tamu mereka memasuki mobil, Za langsung berbalik dan terburu-buru menaiki tangga. Ia tidak peduli dengan teriakan ayahnya yang memanggil-manggil namanya. Pun bunda. Pokoknya ia akan menangis sepuasnya malam ini dan tidak ada yang boleh mengganggu. Selamat tinggal status lajang!


Find me on @yoonisri_

IDOLA GAMBUS - Bingkai Rindu AlkahfiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang