Hak dan Kewajiban

689 38 21
                                    

SESAAT Za menatap pria di hadapannya dengan bingung, lalu wajahnya memerah. “Maksud kamu---”

“Ya, hakku sebagai suami kamu.”

Uh-oh. Za bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Bahkan ia bisa mendengar suaranya tanpa perlu menyentuh dada.

“Selama ini aku gak pernah minta karena aku sadar kamu mungkin belum siap. Tapi aku gak bisa lagi menunggu.” Robi menelan ludah, kemudian, “Boleh?”

Enggak!

Za ingin sekali meneriakkannya dengan lantang. Ia belum siap karena Robi memintanya terlalu mendadak. Tetapi ia teringat dengan ucapan bundanya kala itu. Seorang suami berhak meminta 'hajatnya' kepada istrinya kapan pun dia mau. Dan seorang istri memiliki kewajiban untuk taat dan patuh kepada suaminya. Kalau si istri menolak dan suaminya tidak rida, maka Allah akan murka padanya.

Za juga pernah membacanya dalam sebuah sabda Rasullullah yang bunyinya, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya. Tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang dilangit murka kepadanya .”

Tidak, tidak, tidak! Za tidak mau Allah murka kepadanya. Selama ini ia hidup dengan selalu berusaha mendapatkan rida Allah. Oleh karena itu, ia pun mengangguk. Memindahkan bantal dari pangkuannya. Bangkit dan berjalan ke kamar mandi.

Baru dua langkah ia berjalan, Robi tiba-tiba bertanya, “Mau ke mana?”

“Pipis.”

Robi berusaha menahan senyum mendengar jawaban itu. “Jangan lama-lama,” katanya.

Za hanya mengangguk.

Lima menit kemudian, saat ia keluar dari kamar mandi---usai menuntaskan hajatnya dan menyiapkan diri, didapatinya Robi sudah menanggalkan kemejanya. Pria itu bertolak pinggang menunggunya.

“Udah?” tanya Robi sambil mendekat.

Za terkesiap pelan, mendongak menatap Robi, lalu mengangguk kaku.

“Boleh aku mulai sekarang?”


Baca selengkapnya di versi buku. Info pemesanan bisa cek di Instagram @yoonisri_

IDOLA GAMBUS - Bingkai Rindu AlkahfiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang